Senin, 28 November 2011

Tiga Korban Jembatan Ambruk Kembali Ditemukan

 Tiga Korban Jembatan Ambruk Kembali Ditemukan

Tenggarong (ANTARA) - Tiga jasad korban akibat jembatan ambruk di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, ditemukan, Senin malam.


"Dua korban tewas berjenis kelamin laki-laki ditemukan Senin sekitar pukul 23. 45 Wita dan seorang korban berjenis kelamin perempuan ditemukan Selasa dinihari sekitar pukul 00.25 Wita. Ketiga jenazah tersebut saat ini sudah berada di kamar mayat Rumah Sakit Parikesit Tenggarong," kata salah seorang petugas Posko Laporan Korban Runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara di Rumah Sakit Parikesit Tenggarong, Nurhayati, Selasa dinihari.

Ketiga korban tersebut, kata Nurhayati, ditemukan mengapung di sekitar lokasi runtuhnya Jembatan Kartanegara.

Berdasarkan data Posko Laporan Korban Runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara di Rumah Sakit Parikesit Tenggarong hingga Selasa dinihari, sudah 16 korban tewas ditemukan, 13 di antaranya sudah teridentifikasi.

Kepala Bidang Dokter Kesehatan (Kabid Dokkes) Polda Kaltim, Ajun Komisaris Besar Budi Heryadi kepada wartawan di Tenggarong, Senin malam mengatakan, empat korban tewas yang ditemukan pada hari pertama Jembatan Kartanegara ambruk yakni,Muh. Fairuz (22) warga Jalan Danau Aji Tenggarong, Agus (25) warga Gang Wakab, Tenggarong, Alisyah (1,6) warga Kecamatan Loa Kulu, Fadlan (17) warga Desa Jongkang.

"Kemudian pada Minggu malam jasad M. Iskandar (35) warga Kelurahan Timbau, Tenggarong berhasil ditemukan dan tadi delapan korban tewas ditemukan lagi diantaranya, Samsul (24) warga Tenggarong Seberang, Supriyadi (31) warga Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara M. Huzairi (40) warga Perumahan Puri, Sungai Kapih, Sambutan Kota Samarinda, Erli Erlianah (39) warga Jalan Seluang Tenggarong serta Alisha (9), Alisyah, bayi berusia enam bulan serta ibu dari kedua anak tersebut yakni Rusmini (30)," ungkap Budi Heryadi.

Korban terakhir yang berhasil diidentifikasi, kata Budi Heryadi, yakni Muhammad Fauzan Rivaldi (12) warga Jalan Ahmad Yani Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Ke-13 korban tewas yang telah diidentifikasi itu lanjut Budi Heryadi telah diambil keluarganya.

"Pada pukul 20.00 WITA, seluruh jasad korban sudah diambil keluarganya untuk dimakamkan," ucap Budi Heryadi.

Proses identifikasi, lanjut dia, sempat mengalami kesulitan akibat kondisi mayat yang sudah membengkak dan membusuk.

Rata-rata pasien sudah dalam kondisi membusuk, sehingga sempat menyulitkan proses identifikasi. Namun, berkat berbagai petunjuk yang diberikan pihak keluarga, proses identifikasi seluruh korban bisa selesai, paparnya.

"Jadi, kami mengimbau bagi masyarakat yang menemukan mayat agar tidak mengambil apa yang ada di tubuh korban, sebab itu menjadi salah satu petunjuk pada proses identifikasi," ujar Budi Heryadi, menegaskan.

Selasa, 20 April 2010

Sejarah Musik Rock di Indonesia 2

Scene Punk/Hardcore/Brit/Indie Pop
Invasi musik grunge/alternative dan dirilisnya album Kiss This dari s** Pistols pada tahun 1992 ternyata cukup menjadi trigger yang ampuh dalam melahirkan band-band baru yang tidak memainkan musik metal. Misalnya saja band Pestol Aer dari komunitas Young Offender yang diawal kiprahnya sering meng-cover lagu-lagu s** Pistols lengkap dengan dress-up punk dan haircut mohawknya. Uniknya, pada perjalanan selanjutnya, sekitar tahun 1994, Pestol Aer kemudian mengubah arah musik mereka menjadi band yang mengusung genre british/indie pop ala The Stone Roses. Konon, peristiwa historik ini kemudian menjadi momen yang cukup signifikan bagi perkembangan scene british/indie pop di Jakarta. Sebelum bubar, di pertengahan 1997 mereka sempat merilis album debut bertitel `…Jang Doeloe’. Generasi awal dari scene brit pop ini antara lain adalah band Rumahsakit, Wondergel, Planet Bumi, Orange, Jellyfish, Jepit Rambut, Room-V, Parklife hingga Death Goes To The Disco.

Pestol Aer memang bukan band punk pertama, ibukota ini di tahun 1989 sempat melahirkan band punk/hardcore pionir Antiseptic yang kerap memainkan nomor-nomor milik Black Flag, The Misfits, DRI sampai s** Pistols. Lukman (Waiting Room/The Superglad) dan Robin (Sucker Head/Noxa) adalah alumnus band ini juga. Selain sering manggung di Jakarta, Antiseptic juga sempat manggung di rockfest legendaris Bandung, Hullabaloo II pada akhir 1994. Album debut Antiseptic sendiri yang bertitel `Finally’ baru rilis delapan tahun kemudian (1997) secara D.I.Y. Ada juga band alternatif seperti Ocean yang memainkan musik ala Jane’s Addiction dan lainnya, sayangnya mereka tidak sempat merilis rekaman.

Selain itu, di awal 1990, Jakarta juga mencetak band punk rock The Idiots yang awalnya sering manggung meng-cover lagu-lagu The Exploited. Nggak jauh berbeda dengan Antiseptic, baru sembilan tahun kemudian The Idiots merilis album debut mereka yang bertitel `Living Comfort In Anarchy’ via label indie Movement Records. Komunitas-komunitas punk/hardcore juga menjamur di Jakarta pada era 90-an tersebut. Selain komunitas Young Offender tadi, ada pula komunitas South s** (SS) di kawasan Radio Dalam, Subnormal di Kelapa Gading, Semi-People di Duren Sawit, Brotherhood di Slipi, Locos di Blok M hingga SID Gank di Rawamangun.

Sementara rilisan klasik dari scene punk/hardcore Jakarta adalah album kompilasi Walk Together, Rock Together (Locos Enterprise) yang rilis awal 1997 dan memuat singel antara lain dari band Youth Against Fascism, Anti Septic, Straight Answer, Dirty Edge dan sebagainya. Album kompilasi punk/hardcore klasik lainnya adalah Still One, Still Proud (Movement Records) yang berisikan singel dari Sexy Pig, The Idiots, Cryptical Death hingga Out Of Control.

Sejarah Musik Rock di Indonesia

Awal Mula
Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy(Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70-an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar’ dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya. Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band- band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia, Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album ketiga God Bless, “Semut Hitam” yang dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia.

Menjelang akhir era 80-an, di seluruh dunia waktu itu anak-anak muda sedang mengalami demam musik thrash metal. Sebuah perkembangan style musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal. Band- band yang menjadi gods-nya antara lain Slayer, Metallica, Exodus, Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota- kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang hingga Bali, scene undergroundnya pertama kali lahir dari genre musik ekstrem tersebut. Di Jakarta sendiri komunitas metal pertama kali tampil di depan publik pada awal tahun 1988. Komunitas anak metal (saat itu istilah underground belum populer) ini biasa hang out di Pid Pub, sebuah pub kecil di kawasan pertokoan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Menurut Krisna J. Sadrach, frontman Sucker Head, selain nongkrong, anak-anak yang hang out disana oleh Tante Esther, owner Pid Pub, diberi kesempatan untuk bisa manggung di sana. Setiap malam minggu biasanya selalu ada live show dari band-band baru di Pid Pub dan kebanyakan band-band tersebut mengusung musik rock atau metal.

Band-band yang sering hang out di scene Pid Pub ini antara lain Roxx (Metallica & Anthrax), Sucker Head (Kreator & Sepultura), Commotion Of Resources (Exodus), Painfull Death, Rotor (Kreator), Razzle (GN’R), Parau (DRI & MOD), Jenazah, Mortus hingga Alien Scream (Obituary). Beberapa band diatas pada perjalanan berikutnya banyak yang membelah diri menjadi band-band baru. Commotion Of Resources adalah cikal bakal band gothic metal Getah, sedangkan Parau adalah embrio band death metal lawas Alien Scream. Selain itu Oddie, vokalis Painfull Death selanjutnya membentuk grup industrial Sic Mynded di Amerika Serikat bersama Rudi Soedjarwo (sutradara “Ada Apa Dengan Cinta?”). Rotor sendiri dibentuk pada tahun 1992 setelah cabutnya gitaris Sucker Head, Irvan Sembiring yang merasa konsep musik Sucker Head saat itu masih kurang ekstrem baginya.

Semangat yang dibawa para pendahulu ini memang masih berkutat pola tradisi ‘sekolah lama’, bangga menjadi band cover version! Di antara mereka semua, hanya Roxx yang beruntung bisa rekaman untuk single pertama mereka, “Rock Bergema”. Ini terjadi karena mereka adalah salah satu finalis Festival Rock Se-Indonesia ke-V. Mendapat kontrak rekaman dari label adalah obsesi yang terlalu muluk saat itu. Jangankan rekaman, demo rekaman bisa diputar di radio saja mereka sudah bahagia. Saat itu stasiun radio yang rutin mengudarakan musik-musik rock / metal adalah Radio Bahama, Radio Metro Jaya dan Radio SK. Dari beberapa radio tersebut mungkin yang paling legendaris adalah Radio Mustang. Mereka punya program bernama Rock N’ Rhythm yang mengudara setiap Rabu malam dari pukul 19.00 – 21.00 WIB. Stasiun radio ini bahkan sempat disatroni langsung oleh dedengkot thrash metal Brasil, Sepultura, kala mereka datang ke Jakarta bulan Juni 1992. Selain medium radio, media massa yang kerap mengulas berita- berita rock/metal pada waktu itu hanya Majalah HAI, Tabloid Citra Musik dan Majalah Vista.

Selain hang out di Pid Pub tiap akhir pekan, anak-anak metal ini sehari-harinya nongkrong di pelataran Apotik Retna yang terletak di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Beberapa selebritis muda yang dulu sempat nongkrong bareng (groupies?) anak-anak metal ini antara lain Ayu Azhari, Cornelia Agatha, Sophia Latjuba, Karina Suwandi hingga Krisdayanti. Aktris Ayu Azhari sendiri bahkan sempat dipersunting sebagai istri oleh (alm) Jodhie Gondokusumo yang merupakan vokalis Getah dan juga mantan vokalis Rotor.

Tak seberapa jauh dari Apotik Retna, lokasi lain yang sering dijadikan lokasi rehearsal adalah Studio One Feel yang merupakan studio latihan paling legendaris dan bisa dibilang hampir semua band-band rock / metal lawas ibukota pernah rutin berlatih di sini.

Selain Pid Pub, venue alternatif tempat band-band rock underground manggung pada masa itu adalah Black Hole dan restoran Manari Open Air di Museum Satria Mandala (cikal bakal Poster Café). Diluar itu, pentas seni MA dan acara musik kampus sering kali pula di “infiltrasi” oleh band-band metal tersebut. Beberapa pensi yang historikal di antaranya adalah Pamsos (SMA 6 Bulungan), PL Fair (SMA Pangudi Luhur), Kresikars (SMA 82), acara musik kampus Universitas Nasional (Pejaten), Universitas Gunadarma, Universitas Indonesia (Depok), Unika Atmajaya Jakarta, Institut Teknologi Indonesia (Serpong) hingga Universitas Jayabaya (Pulomas).

Berkonsernya dua supergrup metal internasional di Indonesia, Sepultura (1992) dan Metallica (1993) memberi kontribusi cukup besar bagi perkembangan band-band metal sejenis di Indonesia. Tak berapa lama setelah Sepultura sukses “membakar” Jakarta dan Surabaya, band speed metal Roxx merilis album debut self-titled mereka di bawah label Blackboard. Album kaset ini kelak menjadi salah satu album speed metal klasik Indonesia era 90-an. Hal yang sama dialami pula oleh Rotor. Sukses membuka konser fenomenal Metallica selama dua hari berturut-turut di Stadion Lebak Bulus, Rotor lantas merilis album thrash metal major labelnya yang pertama di Indonesia, Behind The 8th Ball (AIRO). Bermodalkan rekomendasi dari manajer tur Metallica dan honor 30 juta rupiah hasil dua kali membuka konser Metallica, para personel Rotor (minus drummer Bakkar Bufthaim) lantas eksodus ke negeri Paman Sam untuk mengadu nasib. Sucker Head sendiri tercatat paling telat dalam merilis album debut dibanding band seangkatan mereka lainnya. Setelah dikontrak major label lokal, Aquarius Musikindo, baru di awal 1995 mereka merilis album `The Head Sucker’. Hingga kini Sucker Head tercatat sudah merilis empat buah album.

Dari sedemikian panjangnya perjalanan rock underground di tanah air, mungkin baru di paruh pertama dekade 90-anlah mulai banyak terbentuk scene-scene underground dalam arti sebenarnya di Indonesia. Di Jakarta sendiri konsolidasi scene metal secara masif berpusat di Blok M sekitar awal 1995. Kala itu sebagian anak-anak metal sering terlihat nongkrong di lantai 6 game center Blok M Plaza dan di sebuah resto waralaba terkenal di sana. Aktifitas mereka selain hang out adalah bertukar informasi tentang band-band lokal daninternasional, barter CD, jual-beli t-shirt metal hingga merencanakan pengorganisiran konser. Sebagian lagi yang lainnya memilih hang out di basement Blok Mall yang kebetulan letaknya berada di bawah tanah.

Pada era ini hype musik metal yang masif digandrungi adalah subgenre yang makin ekstrem yaitu death metal, brutal death metal, grindcore, black metal hingga gothic/doom metal. Beberapa band yang makin mengkilap namanya di era ini adalah Grausig, Trauma, Aaarghhh, Tengkorak, Delirium Tremens, Corporation of Bleeding, Adaptor, Betrayer, Sadistis, Godzilla dan sebagainya. Band grindcore Tengkorak pada tahun 1996 malah tercatat sebagai band yang pertama kali merilis mini album secara independen di Jakarta dengan judul `It’s A Proud To Vomit Him’. Album ini direkam secara profesional di Studio Triple M, Jakarta dengan sound engineer Harry Widodo (sebelumnya pernah menangani album Roxx, Rotor, Koil, Puppen dan PAS).

Tahun 1996 juga sempat mencatat kelahiran fanzine musik underground pertama di Jakarta, Brainwashed zine. Edisi pertama Brainwashed terbit 24 halaman dengan menampilkan cover Grausig dan profil band Trauma, Betrayer serta Delirium Tremens. Di ketik di komputer berbasis system operasi Windows 3.1 dan lay-out cut n’ paste tradisional, Brainwashed kemudian diperbanyak 100 eksemplar dengan mesin foto kopi milik saudara penulis sendiri. Di edisi-edisi berikutnya Brainwashed mengulas pula band-band hardcore, punk bahkan ska. Setelah terbit fotokopian hingga empat edisi, di tahun 1997 Brainwashed sempat dicetak ala majalah profesional dengan cover penuh warna. Hingga tahun 1999 Brainwashed hanya kuat terbit hingga tujuh edisi, sebelum akhirnya di tahun 2000 penulis menggagas format e-zine di internet (www.bisik.com). Media-media serupa yang selanjutnya lebih konsisten terbit di Jakarta antara lain Morbid Noise zine, Gerilya zine, Rottrevore zine, Cosmic zine dan sebagainya.

29 September 1996 menandakan dimulainya sebuah era baru bagi perkembangan rock underground di Jakarta. Tepat pada hari itulah digelar acara musik indie untuk pertama kalinya di Poster Café. Acara bernama “Underground Session” ini digelar tiap dua minggu sekali pada malam hari kerja. Café legendaris yang dimiliki rocker gaek Ahmad Albar ini banyak melahirkan dan membesarkan scene musik indie baru yang memainkan genre musik berbeda dan lebih variatif. Lahirnya scene Brit/indie pop, ledakan musik ska yang fenomenal era 1997 – 2000 sampai tawuran massal bersejarah antara sebagian kecil massa Jakarta dengan Bandung terjadi juga di tempat ini. Getah, Brain The Machine, Stepforward, Dead Pits, Bloody Gore, Straight Answer, Frontside, RU Sucks, Fudge, Jun Fan Gung Foo, Be Quiet, Bandempo, Kindergarten, RGB, Burning Inside, Sixtols, Looserz, HIV, Planet Bumi, Rumahsakit, Fable, Jepit Rambut, Naif, Toilet Sounds, Agus Sasongko & FSOP adalah sebagian kecil band-band yang `kenyang’ manggung di sana.

10 Maret 1999 adalah hari kematian scene Poster Café untuk selama- lamanya. Pada hari itu untuk terakhir kalinya diadakan acara musik di sana (Subnormal Revolution) yang berujung kerusuhan besar antara massa punk dengan warga sekitar hingga berdampak hancurnya beberapa mobil dan unjuk giginya aparat kepolisian dalam membubarkan massa. Bubarnya Poster Café diluar dugaan malah banyak melahirkan venue- venue alternatif bagi masing-masing scene musik indie. Café Kupu- Kupu di Bulungan sering digunakan scene musik ska, Pondok Indah Waterpark, GM 2000 café dan Café Gueni di Cikini untuk scene Brit/indie pop, Parkit De Javu Club di Menteng untuk gigs punk/hardcore dan juga indie pop. Belakangan BB’s Bar yang super- sempit di Menteng sering disewa untuk acara garage rock-new wave-mellow punk juga rock yang kini sedang hot, seperti The Upstairs, Seringai, The Brandals, C’mon Lennon, Killed By Butterfly, Sajama Cut, Devotion dan banyak lagi. Di antara semuanya, mungkin yang paling `netral’ dan digunakan lintas-scene cuma Nirvana Café yangterletak di basement Hotel Maharadja, Jakarta Selatan. Di tempat ini pulalah, 13 Januari 2002 silam, Puppen `menghabisi riwayat’ mereka dalam sebuah konser bersejarah yang berjudul, “Puppen : Last Show Ever”, sebuah rentetan show akhir band Bandung ini sebelum membubarkan diri.

Yogya Sound: Gelar Baru buat Yogya!

Sekarang Yogya punya sebutan baru baru selain "kota gudeg" dan "kota pelajar". Anak-anak muda Yogya menggeliat dalam penciptaan sebuah genre baru dalam musik lokal. It’s Yogya sound!
Menyebut nama kota ini pastinya akan mengingatkan kita kepada beberapa hal yang istimewa. Kota yang masih terasa sebagai sebuah kerajaan karena keberadaan Sultannya. Kota yang lebih kita kenal dengan makanan khasnya bernama gudeg. Kota yang menawarkan sebuah jalanan eksotis bernama Malioboro. Atau kota yang dipenuhi oleh anak-anak muda dari berbagai daerah di Indonesia untuk menuntut ilmu di sana.
Tapi, ada sebuah kekhasan lain yang belum banyak disebut bila kita membicarakan kota ini. Yogya adalah kota musik. Yup, karena kehidupan bermusik di kota ini tidak bisa dibilang mati. Kalau kita datang ke kota ini dengan kereta api, kita pun bakal langsung disambut dengan musik. Tidak percaya? Cek, nih!
Di pelataran parkir Stasiun Tugu yang cuma beberapa langkah dari Malioboro itu, ada sebuah warung soto bernama Soto Sulung. Di situ sempat dikenal sebuah kelompok musik yang mengkhususkan diri menghibur pengunjung warung soto itu. Bermodal bas betot, kendang ukulele, dan beberapa alat gesek, kelompok ini menawarkan lagu-lagu mereka. Dari lagu tradisional sampai lagu lagu berbahasa Inggris.
Lalu beberapa langkah dari warung tersebut, sebelum menginjak Malioboro, ada Borobudur Bar. Sebuah tempat yang lebih banyak dikunjungi turis-turis asing ini menawarkan suguhan live musik. Biasa berkumandang musik musik rock and roll, reggae, atau musik country. Serasa di bar para cowboy.
Malam hari di Malioboro, akan banyak berseliweran para penyanyi jalanan yang modalnya bervariasi. Dari sekadar gitar, sampai yang modal bikin perkusi sederhana sebagai pengganti drum. Tapi, semua itu belum jadi modal apa-apa untuk membuat kota ini mendapat predikat kota musik. Orang bakal lebih mengenal Bandung dan Surabaya yang sudah melahirkan banyak musisi yang berhasil di industri musik lokal.
Dibanding Bandung
Bandung memang lebih dulu memulai invasi mereka di dunia musik lokal. Saat Bandung menawarkan Kahitna, Java Jive, Pure Saturday, Pas Band, /rif, dan sederet nama lain di angkatan itu, Yogya baru menawarkan Djaduk Ferianto dan Butet Kertaredjasa yang nuansa musiknya lebih kontemporer, tapi jauh dari selera pasar pop (baca: industri musik).
Memang sih, sempat juga muncul nama Rolland Band dan Tiga Band yang meramaikan musik nasional di tahun ’80-an. Tapi sayang, semua itu masih belum cukup untuk menyaingi Bandung. Generasi terbaru Bandung pun masih tetap produktif. Sebutlah Cokelat dan Peterpan. Belum lagi mereka yang berhasil dengan jalur indie seperti Koil dan Mocca.
Ya, musisi-musisi dengan karakter dan jenis musik yang sangat variatif ini menjadi kelebihan Bandung. Selain itu, didukung kondisi geografis yang dekat dengan Jakarta. Membuat mereka lebih mudah masuk ke jaringan industri.
Tapi, sejak tahun ’90-an, Yogya sudah berani berbangga. Nama Sheila On 7 mencatat sejarah fenomenal. Mereka grup pertama yang catatan penjualan tiga album pertamanya masing-masing melewati angka satu juta keping album. Sebuah prestasi yang kemudian membangkitkan gairah industri musik nasional. Dan tentunya gairah musik di Yogya.
Berikutnya muncul nama Jikustik, sebuah band yang awalnya hanya berniat main di kafé-kafé. Walaupun prestasi mereka tidak se-spektakuler Sheila On 7, tapi meninggalkan jejak yang dalam di dunia musik. Malah bisa melahirkan sosok Pongki, sang vokalis, yang ternyata bisa melesat sendiri sebagai salah satu pencipta lagu yang produktif mencetak hits.
Dua nama band ini bisa memancing kita untuk menengok Yogya. Ternyata ada geliat yang hebat di kota ini. Ada semangat menawarkan konsep musik yang lebih industry oriented. Easy listening jadi modal utama mereka.
Sumbangan perantau
Bicara soal variasi musik, Yogya sebenarnya enggak jauh tertinggal dari Bandung. Perlu diingat juga, para pelajar perantau dari berbagai daerah ini juga menyumbangkan influence mereka. Eits! bukan cuma daerah, tapi juga banyak yang kulitnya lebih terang, rambut blonde, dan mata hijau. Tentunya para "bule", secara langsung atau tidak, membuat nuansa musik Yogya jadi lebih kaya. Seberapa besar sumbangan para londo ini?
Esnanas awalnya didirikan oleh sekelompok anak muda yang sebagian besar siswa University of California. Mereka menawarkan punk dengan bermodal lagu-lagu Rancid, Helmet, hingga funk psychedhelic ala Red Hot Chilli Peppers.
Setelah itu, banyak pula band-band yang membawa style bahkan genre baru dari Barat ke Yogya. Uniknya, mereka ini bermunculan dengan memiliki karakter khas masing-masing. Misalnya saat Koil (band asal Bandung) naik daun dengan musik Industrial-nya, Yogya pun punya beberapa band yang memainkan musik sejenis di akhir tahun 90-an. Ada nama SKM, yang hanya berpesonel seorang vokalis dan gitaris, dibantu seperangkat komputer saat mereka manggung. Lalu muncul nama Teknoshit, yang sekarang malah jadi idolanya komunitas penggemar musik elektronik.
Kalau Bandung punya Pas Band dan /rif untuk rock alternatif, Yogya punya I Hate Mondayz yang menjadi bagian dari generasi awal band-band indie yang muncul di G-indie (nama program pemutaran lagu indie di radio lokal Yogya bernama Geronimo). Saat musik ska booming, Yogya punya ShaggyDog yang bertahan hingga sekarang. Sayangnya, album band-band ini belum bisa menembus pasar nasional. Peredarannya masih sangat terbatas.
Nah, itulah yang sekarang membuat cah-cah Yogya ini berlomba untuk menembus industri musik nasional. Dan akhirnya, sekarang munculah nama-nama baru pencetak hits. Macam Seventeen, yang sukses meloloskan hitsnya Cobalah. Konsep musik yang mereka sebut pop bandel ini, enggak jauh dengan dua pendahulunya: Easy listening.
Atmosfir segar
Sebelum kemunculan Seventeen, ada juga beberapa band Yogya yang muncul walaupun sepintas. Sony Music yang sukses dengan Sheila On 7, kelihatannya paling rajin menengok Yogya. Beberapa band muncul dalam album-album kompilasi yang mereka rilis. Sebutlah Colonyet di Skamania, ‘esnanas dan Shakey di Indie Ten II’. I Hate Mondayz dalam kompilasi Alternative Plus.
Setelah itu pergerakan yang terjadi pun makin hebat. Pergerakan ini didukung pula oleh perkembangan aspek-aspek penunjang. Studio-studio musik bukan lagi sekadar menawarkan tempat latihan. Tapi, sebagian besar mulai melengkapi diri dengan fasilitas untuk merekam sampai mixing karya-karya mereka.
Awalnya program radio G-Indie hanya mau menerima demo hasil rekaman Blass Studio. Karena, memang hanya studio milik Mas Fellix ini yang bisa menghasilkan rekaman dengan kualitas baik. Sekarang sangat banyak pilihan tempat untuk merekam lagu mereka. Hasilnya, ajang pemutaran lagu karya sendiri di radio Geronimo ini pun kebanjiran demo yang minta untuk diputar.
Muncul pula minor label yang tentunya sangat berguna bagi musisi Yogya. Awal kemunculan Jikustik di kancah nasional pun bermula dari kerja sama mereka dengan minor label bernama Woodles, yang bekerja sama dengan Warner Music. Gaya "perjuangan" jalur indie label pun terus berlanjut. Misalnya, dibantu oleh sebuah outlet penjual kaset dan CD. Seperti toko kaset Popeye yang berada di balik kemegahan Malioboro Mal, berhasil membuat dua album indie label ShaggyDog laris.
Nah, belakangan mulai bermunculan distro yang men-support penjualan kaset dan merchandise indie. Beberapa Clothing Company pun siap mendukung penampilan cah-cah band Yogya. Sementara untuk urusan berita dan tulisan tentang band-band indie, kita bisa baca majalah lokal bernama Blank.
Well, atmosfir ini jelas sangat mendukung perkembangan musik di kota gudeg.
Komunitas yang hidup
Kalau kita berjuang sendirian, mungkin bakal terasa berat. Tapi, kalau kita berkumpul bersama teman-teman dalam sebuah komunitas dan melakukan "perjuangan" bersama, itu lain soal. "Perjuangan" akan terasa lebih menyenangkan. Kita bisa berdiskusi, saling memberi masukan atau malah saling bantu kalau butuh pemain musik.
Sekarang ini mungkin komunitas Alamanda yang kita kenal. Tempat yang awalnya cuma studio latihan ini, memang jadi tempat nongkrong cah-cah band Yogya. Dari latihan, les musik, "ngotak-atik" lagu, diskusi soal program kerja, sampai hanya ngegosip sambil menikmati pisang bakar pun jadi.
Sebenarnya, Alamanda bukan komunitas musik pertama yang ada di Yogyakarta. Ada beberapa komunitas yang hadir duluan. Seperti Malioboro Classical, lalu Yogyakarta Corps Grinder, dan Realino. Tapi mereka lebih menkhususkan pada musik tertentu yang bisa kita lihat dari namanya.
Adapun Alamanda lebih kompleks dengan berbagai aliran. Belakangan juga disinyalir banyak komunitas musik yang berkumpul di studio-studio musik lain. Fakultas Filsafat UGM juga punya komunitas Sande Morning yang suka bikin acara setiap minggu pagi. Membuat suasana kompleks UGM makin meriah, selain lesehan lontong sayur dan orang-orang yang berolahraga pagi.
Dari situ memang banyak info dan ilmu yang menyebar untuk meningkatkan kualitas bermusik. Soal kemampuan, Yogya punya potensi yang bagus. Untuk yang ingin belajar musik secara formal, tentunya kita bisa melihat Institut Seni Indonesia (ISI). Dari sini biasanya muncul band band dengan ide dan konsep yang kontroversial dan membuka lahan baru. Bahkan, untuk yang seangkatan SMU, Yogya punya Sekolah Menengah Musik (SMM). Karena itu, bukan tidak mungkin anak-anak remaja mampu menghasilkan musik yang berkualitas.
Bergaul dong!
Kebangkitan para musisi Yogya ini juga didukung oleh kemauan mereka untuk membuka wawasan dan "bergaul" dengan daerah lain. Dalam hal ini Bandung dan Jakarta lebih diincar. Bandung karena masih rules, dan Jakarta yang jadi pusatnya industri musik.
Langkah ini diambil misalnya oleh ShaggyDog saat menggarap album kedua. Mereka memilih merekam lagu mereka di Reverse, studionya Richard Mutter. Termasuk rela ngamen di jalan Dago untuk membiayai hidup mereka selama itu. Tujuannya bukan cuma mencari hasil rekaman yang lebih bagus, tapi juga mengakrabkan diri dengan komunitas Bandung. Beberapa orang mencoba bergabung dengan Potlot, dan menyebarkan virusnya di Yogya. Dan tak sedikit yang mencoba jalan Sheila On 7, dengan mendatangi recording company satu per satu di Jakarta.
Mereka yang sudah suksespun membantu jalan keluar band-band Yogya lain. Endank Soekamti, band punk yang awalnya berniat merilis album indie ditawari Pongki Jikustik untuk bekerja sama. Akhirnya, Endank Soekamti memproduksi albumnya bersama Proton Record yang didirikan Pongki dan temannya yang bernama Tony. Proton kemudian menggaet Primagama Music (divisi musik lembaga pendidikan Primagama) dan Warner Music sebagai partner. Seperti karang yang akhirnya terkikis juga oleh ombak. Akhirnya, tembok industri musik nasional berhasil mereka tembus.
Mungkin suatu kebetulan, mungkin pula karena perusahaan rekaman mulai melihat Yogya sebagai produsen band yang potensial. Siapa sih yang enggak mau ketularan sukses Sony Music dengan Sheila On 7? Tapi, tentunya bukan cuma unsur daerah yang bakal membawa keberuntungan. Kualitas musik mereka juga dipertaruhkan. Maka, para perusahaan rekaman itu pun memilih jagoannya masing-masing.
Sekarang ini baru Seventeen yang menyusul Sheila On 7 dan Jikustik dalam menambah daftar band Yogya yang sudah merilis album. Tapi, gelombang besar sudah siap menyerbu di bulan September ini. ShaggyDog yang setiap pertunjukannya selalu dipenuhi penonton, siap menggebrak dengan dukungan EMI. Endank Soekamti siap membuat suasana lebih panas dengan musik punk bersama Proton dan Warner Music.
New Days akan memperkuat barisan artis produksi Bulletin. The Rain diproyeksikan menggantikan Naff sebagai ujung tombak Pro Sound Record. Dan Esnanas yang menunggu giliran rilis dari BMG. Akan hadir juga Mondayz yang merupakan jelmaan dari I Hate Mondayz yang akan merilis album mereka bersama minor label lokal Mix Pro. Belum lagi kiprah Hai Music Record yang siap-siap dengan produknya, Stereovilla.
Mungkin sekarang sudah saatnya Yogya mendapat julukan baru sebagai "kota musik" karena gelombang serbuan musisi Yogya ini dipastikan akan makin membesar. Kalau yang sekarang lebih didominasi komunitas Alamanda, bukan berarti komunitas lain siap-siap, pun sedang berbenah untuk menyusul. Mereka akan memberi warna baru musik Indonesia dengan Yogya Sound-nya!
Atau ada yang punya nama lebih pas buat Yogya?

saosin live in concert

Konser yang saya nantikan akhirnya hadir, bahkan semakin dekat dengan kediaman saya di Bandung. SAOSIN LIVE IN CONCERT. Band yang semasa SMA dulu saya sering dengarkan lagu-lagunya. Ingat saat-saat meneriakkan ‘Seven Years ’ sewaktu jam istirahat sekolah, hingga ‘You’re Not Alone’ yang menemani saya dan sahabat-sahabat saya bermain winning eleven dirumah.
Konser yang diadakan di The venue Eldorado tanggal 31 January 2010 itu berlansung sangat meriah. Penonton sangat antusias akan kehadiran SAOSIN dengan lagu-lagu mereka yang hits dan membuat kita untuk berjingkrak.
Review mengenai konser SAOSIN mungkin sudah banyak mengenai performance mereka ataupun mengenai suasana konsernya. Namun disini saya hanya ingin mereview konser SAOSIN ini dari pesan menarik sang vokalis, Cove Reber. Cove mengungkapkan pesan manis dihadapan para penggemar SAOSIN yang sangat mengandung makna, kurang lebih seperti ini, “Apapun kerjaan kalian, sebagai dokter, pengacara, atau apapun, bekerja keraslah dengan passion. Seperti Saya(Cove Reber) yang bergabung dengan band ini, lalu dapat berada di Indonesia, semua harus punya mimpi, kejar dan jagalah selalu mimpi itu.”
Sebuah pernyataan menarik yang terlontar dari sang vokalis. Sudah jelas terbukti SAOSIN memang berhasil keliling dunia akibat karya mereka yang disukai banyak penggemar. Lagi-lagi orang sukses berkata bahwa kita harus punya mimpi untuk menggerakkan kita. Jangan pernah takut untuk mengikuti passion. Bekerja kerasalah bersama passion itu. Karena itulah yang akan membawa kita pada suatu kesuksesan yang membahagiakan.

PERGESERAN BAND INDIE

Seharusnya band Indie merupakan band yang beridealis dengan karakter musikalitas dan menghasilkan sesuatu yang baru berdasarkan eksperimennya tanpa mengikuti trend, sekaligus mereka melakukan aktivitas band secara mandiri, seperti menitipkan demo ke radio, mencari gigs hingga memproduksi album. Apalagi pegenalan dan penjualan karya sudah dapat dilakukan melalui teknologi internet.

Seiring jaman, tidak salah kalau mereka mendapatkan akses yang mudah untuk mendukung aktivitas band indie itu sendiri. Kebutuhan kepada seseorang yang dipercayai untuk mengurusi band, banyaknya telah menjadi kebutuhan band indie (mandiri). Selain itu kertertarikan Indie maupun Major Label pun akan bersikap mengikuti keadaan idealisme band itu sendiri yang dilihat dari karya, budaya dan massa.

Suatu pekerjaan rumah untuk penggemar mereka adalah mengenalkan dan mengenalkan karya mereka. Ini lebih efektif dan mungkin akan menarik industri, baik Indie ataupun Major Label. Perlahan budaya akan berubah untuk menikmati karya-karya dari musisi kritis dengan keidealisan karyanya. Dalam kenyataannya bentukan Label yang dikatakan Major mempertimbangkan pasar yang luas. Hanya saja mereka tidak berani untuk berbuat lebih banyak pada budaya musik yang berkualitas dengan alasan budaya itu sendiri telah menjiwai. Sebaliknya, hal ini adalah Indie Label yang berjasa besar. Sebuah harga yang harus mahal untuk karya musikalitas yang berkualitas, bukan karya yang terlahir karena mengikuti trend, tuntutan budaya atau industri musik/hiburan.

Bagaimanapun hal yang terpenting merupakan karya yang berkualitas dengan keidealisan dan berbeda, terlepas dari kemasan yang akan mereka baluti. Setuju kalau budaya Indonesia itu harus dilestarikan dengan kualitas dunia tentunya juga. Dan bukan mulahan melestarikan budaya luar. Dari artikel ini menyatakan bahwa band indie saat ini, banyaknya hanyalah merupakan musik indie bukan pergerakan dari band yang mengatasnamakan band indie. Jangan terjebak oleh perasaan minoritas.

Semangat berkarya dengan musik yang berkualitas akan jauh lebih bernilai.