Selasa, 20 April 2010

Merekam Gelora 'Indie'

Kencangkan sabuk pengaman. Anda akan bertamasya ke dunia yang sama sekali lain. Sebuah jagat majalah terbitan anak muda zaman sekarang yang betul-betul jauh dari tertib jurnalistik. Majalah yang punya jurus kritis tapi juga bodor, segar, dan cenderung seenak gue, kocak lagi nyentrik. Majalah "indie" (diambil dari kata "independen", karena tidak disokong dana oleh penerbitan besar) ini memang edan. Tata letak keren, sarat eksperimen, dan tidak jarang ruwet sampai bikin bingung. Semua artikel ditulis dengan bahasa gaul gado-gado, slank campuran Inggris-Indonesia, semisal awrite (all right), bro (brother), dan begowl (bergaul). Pendeknya, kosakata yang ada di majalah indie ini bakal membuat para pembaca majalah konvensional merasa sudah uzur. Topik tulisan yang dimuat cukup beragam, dari sejarah musik jazz, sejarah perbudakan, asal-muasal pionir kelompok musik punk The Sex Pistols, sampai artikel ringan tentang "burket" atawa bubur ketek. Seluruhnya diramu dengan gaya terjun bebas. Ada artikel yang belum tuntas dan hanya dipungkasi dengan kalimat "Udahan ya, gue males nih". Artikel lainnya diawali dengan umpatan "anjing" yang dipelesetkan menjadi "anjirrr". Pengantar redaksi pun tidak kalah seru: maap, so bloody sorry karena terlambat terbit. Jurus nyentrik habis tersebut sukses memikat anak-anak muda. Ripple Magazine, misalnya, bermula pada tahun 1999. Kala itu Ripple hanya berupa katalog produk-produk busana yang dipajang di distro (distribution outlet, toko independen yang menjajakan barang-barang indie) 347, Bandung. Isi katalog pun makin gurih dengan liputan aktivitas gaya hidup seperti papan luncur (skateboard), selancar, serta dinamika komunitas punk yang ada di pojok-pojok Bandung. Ripple kian berwarna dengan adanya ulasan musik, juga laporan pertunjukan berbagai band indie label yang memang sedang marak di Bandung. The Milo, Mocca, KOIL, Rocket Rockers, Superman Is Dead adalah contoh band indie yang melejit namanya setelah diulas oleh Ripple. "Secara enggak sadar, kita ikut mempengaruhi perkembangan musik indie di negeri ini," kata Noor al-Kautsar, 24 tahun, Redaktur Senior Ripple. Sampai kini, menurut Noor, tidak kurang dari seribu contoh rekaman yang sudah dikirim berbagai band indie kepada redaksi Ripple. Pamor Ripple pun tambah mencorong. Oplah yang 5.000 di awal terbitan terus melonjak hingga 10 ribu eksemplar. Padahal, harganya berangsur menanjak dari Rp 3.500, Rp 6.500, hingga kini jadi Rp 20.000 per buah. Wilayah peredaran pun telah meluas meliputi Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan. Sejatinya, Ripple bukan pemain pertama di ladang media indie. Pada tahun 1999, telah terbit Trolley—antara lain diawaki Dewi "Supernova" Lestari—yang membidik pasar komunitas anak muda pencinta musik dan seni rupa. Sayang, napas Trolley tidak panjang dan berstatus almarhum setelah beberapa kali terbit. Esa hilang, dua terbilang. Berhentinya Trolley disusul terbitnya majalah-majalah indie lain dengan napas serupa. Dari Yogyakarta, muncul Outmagz dan Blank! yang membidik pasar pencinta desain grafis, musik, dan seni rupa. Lalu ada Pause dan Retas Magazine (Bandung), MTeens Magazine (Medan), dan Sinkink (Solo). Sesuai dengan predikat yang disandang, majalah indie lebih menge- depankan semangat mandiri. Spirit kebebasan inilah yang amat jitu memikat jiwa-jiwa muda. Media independen pun kemudian menjelma menjadi bagian dari gaya hidup anak muda yang berkarakter cenderung pemberontak. "Ini yang gue cari," tutur Anne sembari membolak-balik halaman Outmagz. "Isinya gak kayak majalah remaja lain yang cuma tahu Britney Spears dan Westlife," kata pelajar SMU di Jakarta Selatan ini. Soal bisnis, media independen memang unik. Hitung-hitungan bisnis—balik modal, untung-rugi—yang konvensional tidak bisa sepenuhnya berlaku. Ripple, umpamanya, sampai kini belum bisa menggaji awak redaksinya dengan layak. "Masih di bawah upah minimum regional," kata Noor al-Kautsar sembari terbahak. Maklumlah, media indie menekankan prinsip dasar DIY (do it yourself), dari hulu sampai hilir, yang boleh jadi tidak ekonomis. Segalanya dikerjakan sendiri dengan melibatkan jaringan kalangan indie, misalnya iklan dari band indie, di- pasarkan di outlet distro, juga di- promosikan pada bazar dan perhelatan kaum indie. Denny Sitohang, 29 tahun, adalah contoh gamblang penerapan prinsip do it yourself. Pemimpin Redaksi MTeens Magazine di Medan ini menguras tabungannya senilai Rp 5 juta untuk mewujudkan mimpi majalah indie. Ditemani seperangkat komputer pribadi, Denny menulis, menyun-nting, juga merancang tata letak MTeens. "Nekat aja," kata pemuda yang kupingnya berhias anting ini. Untunglah, kenekatan Denny berbuah. Kendati belum meraup untung, setidaknya ongkos operasional MTeens tidak lagi tambal sulam. Soal isi majalah, Denny lebih banyak mengandalkan jaringan di antara pelajar dan mahasiswa di Medan. "Saya sediakan medianya, silakan mereka manfaatkan," kata Denny. Hasilnya, MTeens menjadi media khas anak muda Medan. Denyut gerak orang-orang muda di kota ini terekam di dalam majalah yang dijual Rp 6.000 per buah dengan oplah 3.000 eksemplar ini. Walhasil, setiap bulan kehadiran MTeens pun selalu dinanti jejaka dan gadis Medan. MTeens, juga segenap majalah indie, memang punya karakter pasar yang mirip-mirip. Mereka membidik target pasar usia 15-20-an tahun yang cenderung memberontak, anak muda yang tak mau terkungkung aturan kaku, anak muda yang begitu ingin berenang-renang dalam lautan ide. Mereka kalangan yang tampaknya tidak ter- wakili oleh gaya konvensional yang di- tawarkan majalah remaja pada umumnya. Noor al-Kautsar menegaskan karakter komunitas indie. "Maaf saja," tuturnya, "Hai, Gadis, atau Kawanku enggak cocok buat kami-kami." Redaktur Ripple ini memandang media konvensional semata-mata mencekoki remaja dengan selera konsumtif yang dipaksakan industri hiburan global. Pada titik inilah majalah indie membawa misi menyajikan gagasan-gagasan alternatif. Tengoklah Outmagz edisi ke-2, yang menyuguhkan gambar-gambar aneh karya Jake & Dinos Chapman. Kedua perupa dari Inggris ini bereksperimen membuat boneka manusia berbahan fiber dengan anatomi yang superliar. Ada yang berkepala dua, ada yang perutnya berdempetan, yang lainnya punya selusin badan lantaran manipulasi genetis. "Karya ini bukanlah mengagungkan penyimpangan, tetapi se- kadar mengeksplorasi berbagai kemungkinan bentuk yang tiada habisnya," demikian ditulis Outmagz. Sajian visual yang diusung media indie pun pasti lain dan nyeleneh. "Sesuatu yang tidak bakal dijumpai pada media konvensional," kata Sigit Djatmiko, Redaktur Outmagz. Untuk gadis sampul, umpamanya, Outmagz lebih memilih gadis bertampang "tetangga sebelah" yang kita lihat sehari-hari. Sosok model, yang biasanya nyaris seragam—tinggi, kurus langsing, dan cantik sempurna—justru tak laku di sini. Dan jurus biasa-biasa inilah yang mendekatkan Outmagz dengan anak-anak muda pembacanya. Simaklah komentar Andri, pelajar SMU di Yogyakarta: "Gue suka banget sama Outmagz. Abis, isinya deket banget ama yang kita saksiin sehari-hari." Media independen tumbuh subur di berbagai kota. Kebebasan yang mereka suarakan cukup jitu memikat jiwa-jiwa muda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar