Scene Punk/Hardcore/Brit/Indie Pop
Invasi musik grunge/alternative dan dirilisnya album Kiss This dari s** Pistols pada tahun 1992 ternyata cukup menjadi trigger yang ampuh dalam melahirkan band-band baru yang tidak memainkan musik metal. Misalnya saja band Pestol Aer dari komunitas Young Offender yang diawal kiprahnya sering meng-cover lagu-lagu s** Pistols lengkap dengan dress-up punk dan haircut mohawknya. Uniknya, pada perjalanan selanjutnya, sekitar tahun 1994, Pestol Aer kemudian mengubah arah musik mereka menjadi band yang mengusung genre british/indie pop ala The Stone Roses. Konon, peristiwa historik ini kemudian menjadi momen yang cukup signifikan bagi perkembangan scene british/indie pop di Jakarta. Sebelum bubar, di pertengahan 1997 mereka sempat merilis album debut bertitel `…Jang Doeloe’. Generasi awal dari scene brit pop ini antara lain adalah band Rumahsakit, Wondergel, Planet Bumi, Orange, Jellyfish, Jepit Rambut, Room-V, Parklife hingga Death Goes To The Disco.
Pestol Aer memang bukan band punk pertama, ibukota ini di tahun 1989 sempat melahirkan band punk/hardcore pionir Antiseptic yang kerap memainkan nomor-nomor milik Black Flag, The Misfits, DRI sampai s** Pistols. Lukman (Waiting Room/The Superglad) dan Robin (Sucker Head/Noxa) adalah alumnus band ini juga. Selain sering manggung di Jakarta, Antiseptic juga sempat manggung di rockfest legendaris Bandung, Hullabaloo II pada akhir 1994. Album debut Antiseptic sendiri yang bertitel `Finally’ baru rilis delapan tahun kemudian (1997) secara D.I.Y. Ada juga band alternatif seperti Ocean yang memainkan musik ala Jane’s Addiction dan lainnya, sayangnya mereka tidak sempat merilis rekaman.
Selain itu, di awal 1990, Jakarta juga mencetak band punk rock The Idiots yang awalnya sering manggung meng-cover lagu-lagu The Exploited. Nggak jauh berbeda dengan Antiseptic, baru sembilan tahun kemudian The Idiots merilis album debut mereka yang bertitel `Living Comfort In Anarchy’ via label indie Movement Records. Komunitas-komunitas punk/hardcore juga menjamur di Jakarta pada era 90-an tersebut. Selain komunitas Young Offender tadi, ada pula komunitas South s** (SS) di kawasan Radio Dalam, Subnormal di Kelapa Gading, Semi-People di Duren Sawit, Brotherhood di Slipi, Locos di Blok M hingga SID Gank di Rawamangun.
Sementara rilisan klasik dari scene punk/hardcore Jakarta adalah album kompilasi Walk Together, Rock Together (Locos Enterprise) yang rilis awal 1997 dan memuat singel antara lain dari band Youth Against Fascism, Anti Septic, Straight Answer, Dirty Edge dan sebagainya. Album kompilasi punk/hardcore klasik lainnya adalah Still One, Still Proud (Movement Records) yang berisikan singel dari Sexy Pig, The Idiots, Cryptical Death hingga Out Of Control.
Selasa, 20 April 2010
Sejarah Musik Rock di Indonesia
Awal Mula
Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy(Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70-an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar’ dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya. Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band- band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia, Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album ketiga God Bless, “Semut Hitam” yang dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia.
Menjelang akhir era 80-an, di seluruh dunia waktu itu anak-anak muda sedang mengalami demam musik thrash metal. Sebuah perkembangan style musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal. Band- band yang menjadi gods-nya antara lain Slayer, Metallica, Exodus, Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota- kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang hingga Bali, scene undergroundnya pertama kali lahir dari genre musik ekstrem tersebut. Di Jakarta sendiri komunitas metal pertama kali tampil di depan publik pada awal tahun 1988. Komunitas anak metal (saat itu istilah underground belum populer) ini biasa hang out di Pid Pub, sebuah pub kecil di kawasan pertokoan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Menurut Krisna J. Sadrach, frontman Sucker Head, selain nongkrong, anak-anak yang hang out disana oleh Tante Esther, owner Pid Pub, diberi kesempatan untuk bisa manggung di sana. Setiap malam minggu biasanya selalu ada live show dari band-band baru di Pid Pub dan kebanyakan band-band tersebut mengusung musik rock atau metal.
Band-band yang sering hang out di scene Pid Pub ini antara lain Roxx (Metallica & Anthrax), Sucker Head (Kreator & Sepultura), Commotion Of Resources (Exodus), Painfull Death, Rotor (Kreator), Razzle (GN’R), Parau (DRI & MOD), Jenazah, Mortus hingga Alien Scream (Obituary). Beberapa band diatas pada perjalanan berikutnya banyak yang membelah diri menjadi band-band baru. Commotion Of Resources adalah cikal bakal band gothic metal Getah, sedangkan Parau adalah embrio band death metal lawas Alien Scream. Selain itu Oddie, vokalis Painfull Death selanjutnya membentuk grup industrial Sic Mynded di Amerika Serikat bersama Rudi Soedjarwo (sutradara “Ada Apa Dengan Cinta?”). Rotor sendiri dibentuk pada tahun 1992 setelah cabutnya gitaris Sucker Head, Irvan Sembiring yang merasa konsep musik Sucker Head saat itu masih kurang ekstrem baginya.
Semangat yang dibawa para pendahulu ini memang masih berkutat pola tradisi ‘sekolah lama’, bangga menjadi band cover version! Di antara mereka semua, hanya Roxx yang beruntung bisa rekaman untuk single pertama mereka, “Rock Bergema”. Ini terjadi karena mereka adalah salah satu finalis Festival Rock Se-Indonesia ke-V. Mendapat kontrak rekaman dari label adalah obsesi yang terlalu muluk saat itu. Jangankan rekaman, demo rekaman bisa diputar di radio saja mereka sudah bahagia. Saat itu stasiun radio yang rutin mengudarakan musik-musik rock / metal adalah Radio Bahama, Radio Metro Jaya dan Radio SK. Dari beberapa radio tersebut mungkin yang paling legendaris adalah Radio Mustang. Mereka punya program bernama Rock N’ Rhythm yang mengudara setiap Rabu malam dari pukul 19.00 – 21.00 WIB. Stasiun radio ini bahkan sempat disatroni langsung oleh dedengkot thrash metal Brasil, Sepultura, kala mereka datang ke Jakarta bulan Juni 1992. Selain medium radio, media massa yang kerap mengulas berita- berita rock/metal pada waktu itu hanya Majalah HAI, Tabloid Citra Musik dan Majalah Vista.
Selain hang out di Pid Pub tiap akhir pekan, anak-anak metal ini sehari-harinya nongkrong di pelataran Apotik Retna yang terletak di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Beberapa selebritis muda yang dulu sempat nongkrong bareng (groupies?) anak-anak metal ini antara lain Ayu Azhari, Cornelia Agatha, Sophia Latjuba, Karina Suwandi hingga Krisdayanti. Aktris Ayu Azhari sendiri bahkan sempat dipersunting sebagai istri oleh (alm) Jodhie Gondokusumo yang merupakan vokalis Getah dan juga mantan vokalis Rotor.
Tak seberapa jauh dari Apotik Retna, lokasi lain yang sering dijadikan lokasi rehearsal adalah Studio One Feel yang merupakan studio latihan paling legendaris dan bisa dibilang hampir semua band-band rock / metal lawas ibukota pernah rutin berlatih di sini.
Selain Pid Pub, venue alternatif tempat band-band rock underground manggung pada masa itu adalah Black Hole dan restoran Manari Open Air di Museum Satria Mandala (cikal bakal Poster Café). Diluar itu, pentas seni MA dan acara musik kampus sering kali pula di “infiltrasi” oleh band-band metal tersebut. Beberapa pensi yang historikal di antaranya adalah Pamsos (SMA 6 Bulungan), PL Fair (SMA Pangudi Luhur), Kresikars (SMA 82), acara musik kampus Universitas Nasional (Pejaten), Universitas Gunadarma, Universitas Indonesia (Depok), Unika Atmajaya Jakarta, Institut Teknologi Indonesia (Serpong) hingga Universitas Jayabaya (Pulomas).
Berkonsernya dua supergrup metal internasional di Indonesia, Sepultura (1992) dan Metallica (1993) memberi kontribusi cukup besar bagi perkembangan band-band metal sejenis di Indonesia. Tak berapa lama setelah Sepultura sukses “membakar” Jakarta dan Surabaya, band speed metal Roxx merilis album debut self-titled mereka di bawah label Blackboard. Album kaset ini kelak menjadi salah satu album speed metal klasik Indonesia era 90-an. Hal yang sama dialami pula oleh Rotor. Sukses membuka konser fenomenal Metallica selama dua hari berturut-turut di Stadion Lebak Bulus, Rotor lantas merilis album thrash metal major labelnya yang pertama di Indonesia, Behind The 8th Ball (AIRO). Bermodalkan rekomendasi dari manajer tur Metallica dan honor 30 juta rupiah hasil dua kali membuka konser Metallica, para personel Rotor (minus drummer Bakkar Bufthaim) lantas eksodus ke negeri Paman Sam untuk mengadu nasib. Sucker Head sendiri tercatat paling telat dalam merilis album debut dibanding band seangkatan mereka lainnya. Setelah dikontrak major label lokal, Aquarius Musikindo, baru di awal 1995 mereka merilis album `The Head Sucker’. Hingga kini Sucker Head tercatat sudah merilis empat buah album.
Dari sedemikian panjangnya perjalanan rock underground di tanah air, mungkin baru di paruh pertama dekade 90-anlah mulai banyak terbentuk scene-scene underground dalam arti sebenarnya di Indonesia. Di Jakarta sendiri konsolidasi scene metal secara masif berpusat di Blok M sekitar awal 1995. Kala itu sebagian anak-anak metal sering terlihat nongkrong di lantai 6 game center Blok M Plaza dan di sebuah resto waralaba terkenal di sana. Aktifitas mereka selain hang out adalah bertukar informasi tentang band-band lokal daninternasional, barter CD, jual-beli t-shirt metal hingga merencanakan pengorganisiran konser. Sebagian lagi yang lainnya memilih hang out di basement Blok Mall yang kebetulan letaknya berada di bawah tanah.
Pada era ini hype musik metal yang masif digandrungi adalah subgenre yang makin ekstrem yaitu death metal, brutal death metal, grindcore, black metal hingga gothic/doom metal. Beberapa band yang makin mengkilap namanya di era ini adalah Grausig, Trauma, Aaarghhh, Tengkorak, Delirium Tremens, Corporation of Bleeding, Adaptor, Betrayer, Sadistis, Godzilla dan sebagainya. Band grindcore Tengkorak pada tahun 1996 malah tercatat sebagai band yang pertama kali merilis mini album secara independen di Jakarta dengan judul `It’s A Proud To Vomit Him’. Album ini direkam secara profesional di Studio Triple M, Jakarta dengan sound engineer Harry Widodo (sebelumnya pernah menangani album Roxx, Rotor, Koil, Puppen dan PAS).
Tahun 1996 juga sempat mencatat kelahiran fanzine musik underground pertama di Jakarta, Brainwashed zine. Edisi pertama Brainwashed terbit 24 halaman dengan menampilkan cover Grausig dan profil band Trauma, Betrayer serta Delirium Tremens. Di ketik di komputer berbasis system operasi Windows 3.1 dan lay-out cut n’ paste tradisional, Brainwashed kemudian diperbanyak 100 eksemplar dengan mesin foto kopi milik saudara penulis sendiri. Di edisi-edisi berikutnya Brainwashed mengulas pula band-band hardcore, punk bahkan ska. Setelah terbit fotokopian hingga empat edisi, di tahun 1997 Brainwashed sempat dicetak ala majalah profesional dengan cover penuh warna. Hingga tahun 1999 Brainwashed hanya kuat terbit hingga tujuh edisi, sebelum akhirnya di tahun 2000 penulis menggagas format e-zine di internet (www.bisik.com). Media-media serupa yang selanjutnya lebih konsisten terbit di Jakarta antara lain Morbid Noise zine, Gerilya zine, Rottrevore zine, Cosmic zine dan sebagainya.
29 September 1996 menandakan dimulainya sebuah era baru bagi perkembangan rock underground di Jakarta. Tepat pada hari itulah digelar acara musik indie untuk pertama kalinya di Poster Café. Acara bernama “Underground Session” ini digelar tiap dua minggu sekali pada malam hari kerja. Café legendaris yang dimiliki rocker gaek Ahmad Albar ini banyak melahirkan dan membesarkan scene musik indie baru yang memainkan genre musik berbeda dan lebih variatif. Lahirnya scene Brit/indie pop, ledakan musik ska yang fenomenal era 1997 – 2000 sampai tawuran massal bersejarah antara sebagian kecil massa Jakarta dengan Bandung terjadi juga di tempat ini. Getah, Brain The Machine, Stepforward, Dead Pits, Bloody Gore, Straight Answer, Frontside, RU Sucks, Fudge, Jun Fan Gung Foo, Be Quiet, Bandempo, Kindergarten, RGB, Burning Inside, Sixtols, Looserz, HIV, Planet Bumi, Rumahsakit, Fable, Jepit Rambut, Naif, Toilet Sounds, Agus Sasongko & FSOP adalah sebagian kecil band-band yang `kenyang’ manggung di sana.
10 Maret 1999 adalah hari kematian scene Poster Café untuk selama- lamanya. Pada hari itu untuk terakhir kalinya diadakan acara musik di sana (Subnormal Revolution) yang berujung kerusuhan besar antara massa punk dengan warga sekitar hingga berdampak hancurnya beberapa mobil dan unjuk giginya aparat kepolisian dalam membubarkan massa. Bubarnya Poster Café diluar dugaan malah banyak melahirkan venue- venue alternatif bagi masing-masing scene musik indie. Café Kupu- Kupu di Bulungan sering digunakan scene musik ska, Pondok Indah Waterpark, GM 2000 café dan Café Gueni di Cikini untuk scene Brit/indie pop, Parkit De Javu Club di Menteng untuk gigs punk/hardcore dan juga indie pop. Belakangan BB’s Bar yang super- sempit di Menteng sering disewa untuk acara garage rock-new wave-mellow punk juga rock yang kini sedang hot, seperti The Upstairs, Seringai, The Brandals, C’mon Lennon, Killed By Butterfly, Sajama Cut, Devotion dan banyak lagi. Di antara semuanya, mungkin yang paling `netral’ dan digunakan lintas-scene cuma Nirvana Café yangterletak di basement Hotel Maharadja, Jakarta Selatan. Di tempat ini pulalah, 13 Januari 2002 silam, Puppen `menghabisi riwayat’ mereka dalam sebuah konser bersejarah yang berjudul, “Puppen : Last Show Ever”, sebuah rentetan show akhir band Bandung ini sebelum membubarkan diri.
Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy(Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70-an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar’ dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya. Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band- band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia, Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album ketiga God Bless, “Semut Hitam” yang dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia.
Menjelang akhir era 80-an, di seluruh dunia waktu itu anak-anak muda sedang mengalami demam musik thrash metal. Sebuah perkembangan style musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal. Band- band yang menjadi gods-nya antara lain Slayer, Metallica, Exodus, Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota- kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang hingga Bali, scene undergroundnya pertama kali lahir dari genre musik ekstrem tersebut. Di Jakarta sendiri komunitas metal pertama kali tampil di depan publik pada awal tahun 1988. Komunitas anak metal (saat itu istilah underground belum populer) ini biasa hang out di Pid Pub, sebuah pub kecil di kawasan pertokoan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Menurut Krisna J. Sadrach, frontman Sucker Head, selain nongkrong, anak-anak yang hang out disana oleh Tante Esther, owner Pid Pub, diberi kesempatan untuk bisa manggung di sana. Setiap malam minggu biasanya selalu ada live show dari band-band baru di Pid Pub dan kebanyakan band-band tersebut mengusung musik rock atau metal.
Band-band yang sering hang out di scene Pid Pub ini antara lain Roxx (Metallica & Anthrax), Sucker Head (Kreator & Sepultura), Commotion Of Resources (Exodus), Painfull Death, Rotor (Kreator), Razzle (GN’R), Parau (DRI & MOD), Jenazah, Mortus hingga Alien Scream (Obituary). Beberapa band diatas pada perjalanan berikutnya banyak yang membelah diri menjadi band-band baru. Commotion Of Resources adalah cikal bakal band gothic metal Getah, sedangkan Parau adalah embrio band death metal lawas Alien Scream. Selain itu Oddie, vokalis Painfull Death selanjutnya membentuk grup industrial Sic Mynded di Amerika Serikat bersama Rudi Soedjarwo (sutradara “Ada Apa Dengan Cinta?”). Rotor sendiri dibentuk pada tahun 1992 setelah cabutnya gitaris Sucker Head, Irvan Sembiring yang merasa konsep musik Sucker Head saat itu masih kurang ekstrem baginya.
Semangat yang dibawa para pendahulu ini memang masih berkutat pola tradisi ‘sekolah lama’, bangga menjadi band cover version! Di antara mereka semua, hanya Roxx yang beruntung bisa rekaman untuk single pertama mereka, “Rock Bergema”. Ini terjadi karena mereka adalah salah satu finalis Festival Rock Se-Indonesia ke-V. Mendapat kontrak rekaman dari label adalah obsesi yang terlalu muluk saat itu. Jangankan rekaman, demo rekaman bisa diputar di radio saja mereka sudah bahagia. Saat itu stasiun radio yang rutin mengudarakan musik-musik rock / metal adalah Radio Bahama, Radio Metro Jaya dan Radio SK. Dari beberapa radio tersebut mungkin yang paling legendaris adalah Radio Mustang. Mereka punya program bernama Rock N’ Rhythm yang mengudara setiap Rabu malam dari pukul 19.00 – 21.00 WIB. Stasiun radio ini bahkan sempat disatroni langsung oleh dedengkot thrash metal Brasil, Sepultura, kala mereka datang ke Jakarta bulan Juni 1992. Selain medium radio, media massa yang kerap mengulas berita- berita rock/metal pada waktu itu hanya Majalah HAI, Tabloid Citra Musik dan Majalah Vista.
Selain hang out di Pid Pub tiap akhir pekan, anak-anak metal ini sehari-harinya nongkrong di pelataran Apotik Retna yang terletak di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Beberapa selebritis muda yang dulu sempat nongkrong bareng (groupies?) anak-anak metal ini antara lain Ayu Azhari, Cornelia Agatha, Sophia Latjuba, Karina Suwandi hingga Krisdayanti. Aktris Ayu Azhari sendiri bahkan sempat dipersunting sebagai istri oleh (alm) Jodhie Gondokusumo yang merupakan vokalis Getah dan juga mantan vokalis Rotor.
Tak seberapa jauh dari Apotik Retna, lokasi lain yang sering dijadikan lokasi rehearsal adalah Studio One Feel yang merupakan studio latihan paling legendaris dan bisa dibilang hampir semua band-band rock / metal lawas ibukota pernah rutin berlatih di sini.
Selain Pid Pub, venue alternatif tempat band-band rock underground manggung pada masa itu adalah Black Hole dan restoran Manari Open Air di Museum Satria Mandala (cikal bakal Poster Café). Diluar itu, pentas seni MA dan acara musik kampus sering kali pula di “infiltrasi” oleh band-band metal tersebut. Beberapa pensi yang historikal di antaranya adalah Pamsos (SMA 6 Bulungan), PL Fair (SMA Pangudi Luhur), Kresikars (SMA 82), acara musik kampus Universitas Nasional (Pejaten), Universitas Gunadarma, Universitas Indonesia (Depok), Unika Atmajaya Jakarta, Institut Teknologi Indonesia (Serpong) hingga Universitas Jayabaya (Pulomas).
Berkonsernya dua supergrup metal internasional di Indonesia, Sepultura (1992) dan Metallica (1993) memberi kontribusi cukup besar bagi perkembangan band-band metal sejenis di Indonesia. Tak berapa lama setelah Sepultura sukses “membakar” Jakarta dan Surabaya, band speed metal Roxx merilis album debut self-titled mereka di bawah label Blackboard. Album kaset ini kelak menjadi salah satu album speed metal klasik Indonesia era 90-an. Hal yang sama dialami pula oleh Rotor. Sukses membuka konser fenomenal Metallica selama dua hari berturut-turut di Stadion Lebak Bulus, Rotor lantas merilis album thrash metal major labelnya yang pertama di Indonesia, Behind The 8th Ball (AIRO). Bermodalkan rekomendasi dari manajer tur Metallica dan honor 30 juta rupiah hasil dua kali membuka konser Metallica, para personel Rotor (minus drummer Bakkar Bufthaim) lantas eksodus ke negeri Paman Sam untuk mengadu nasib. Sucker Head sendiri tercatat paling telat dalam merilis album debut dibanding band seangkatan mereka lainnya. Setelah dikontrak major label lokal, Aquarius Musikindo, baru di awal 1995 mereka merilis album `The Head Sucker’. Hingga kini Sucker Head tercatat sudah merilis empat buah album.
Dari sedemikian panjangnya perjalanan rock underground di tanah air, mungkin baru di paruh pertama dekade 90-anlah mulai banyak terbentuk scene-scene underground dalam arti sebenarnya di Indonesia. Di Jakarta sendiri konsolidasi scene metal secara masif berpusat di Blok M sekitar awal 1995. Kala itu sebagian anak-anak metal sering terlihat nongkrong di lantai 6 game center Blok M Plaza dan di sebuah resto waralaba terkenal di sana. Aktifitas mereka selain hang out adalah bertukar informasi tentang band-band lokal daninternasional, barter CD, jual-beli t-shirt metal hingga merencanakan pengorganisiran konser. Sebagian lagi yang lainnya memilih hang out di basement Blok Mall yang kebetulan letaknya berada di bawah tanah.
Pada era ini hype musik metal yang masif digandrungi adalah subgenre yang makin ekstrem yaitu death metal, brutal death metal, grindcore, black metal hingga gothic/doom metal. Beberapa band yang makin mengkilap namanya di era ini adalah Grausig, Trauma, Aaarghhh, Tengkorak, Delirium Tremens, Corporation of Bleeding, Adaptor, Betrayer, Sadistis, Godzilla dan sebagainya. Band grindcore Tengkorak pada tahun 1996 malah tercatat sebagai band yang pertama kali merilis mini album secara independen di Jakarta dengan judul `It’s A Proud To Vomit Him’. Album ini direkam secara profesional di Studio Triple M, Jakarta dengan sound engineer Harry Widodo (sebelumnya pernah menangani album Roxx, Rotor, Koil, Puppen dan PAS).
Tahun 1996 juga sempat mencatat kelahiran fanzine musik underground pertama di Jakarta, Brainwashed zine. Edisi pertama Brainwashed terbit 24 halaman dengan menampilkan cover Grausig dan profil band Trauma, Betrayer serta Delirium Tremens. Di ketik di komputer berbasis system operasi Windows 3.1 dan lay-out cut n’ paste tradisional, Brainwashed kemudian diperbanyak 100 eksemplar dengan mesin foto kopi milik saudara penulis sendiri. Di edisi-edisi berikutnya Brainwashed mengulas pula band-band hardcore, punk bahkan ska. Setelah terbit fotokopian hingga empat edisi, di tahun 1997 Brainwashed sempat dicetak ala majalah profesional dengan cover penuh warna. Hingga tahun 1999 Brainwashed hanya kuat terbit hingga tujuh edisi, sebelum akhirnya di tahun 2000 penulis menggagas format e-zine di internet (www.bisik.com). Media-media serupa yang selanjutnya lebih konsisten terbit di Jakarta antara lain Morbid Noise zine, Gerilya zine, Rottrevore zine, Cosmic zine dan sebagainya.
29 September 1996 menandakan dimulainya sebuah era baru bagi perkembangan rock underground di Jakarta. Tepat pada hari itulah digelar acara musik indie untuk pertama kalinya di Poster Café. Acara bernama “Underground Session” ini digelar tiap dua minggu sekali pada malam hari kerja. Café legendaris yang dimiliki rocker gaek Ahmad Albar ini banyak melahirkan dan membesarkan scene musik indie baru yang memainkan genre musik berbeda dan lebih variatif. Lahirnya scene Brit/indie pop, ledakan musik ska yang fenomenal era 1997 – 2000 sampai tawuran massal bersejarah antara sebagian kecil massa Jakarta dengan Bandung terjadi juga di tempat ini. Getah, Brain The Machine, Stepforward, Dead Pits, Bloody Gore, Straight Answer, Frontside, RU Sucks, Fudge, Jun Fan Gung Foo, Be Quiet, Bandempo, Kindergarten, RGB, Burning Inside, Sixtols, Looserz, HIV, Planet Bumi, Rumahsakit, Fable, Jepit Rambut, Naif, Toilet Sounds, Agus Sasongko & FSOP adalah sebagian kecil band-band yang `kenyang’ manggung di sana.
10 Maret 1999 adalah hari kematian scene Poster Café untuk selama- lamanya. Pada hari itu untuk terakhir kalinya diadakan acara musik di sana (Subnormal Revolution) yang berujung kerusuhan besar antara massa punk dengan warga sekitar hingga berdampak hancurnya beberapa mobil dan unjuk giginya aparat kepolisian dalam membubarkan massa. Bubarnya Poster Café diluar dugaan malah banyak melahirkan venue- venue alternatif bagi masing-masing scene musik indie. Café Kupu- Kupu di Bulungan sering digunakan scene musik ska, Pondok Indah Waterpark, GM 2000 café dan Café Gueni di Cikini untuk scene Brit/indie pop, Parkit De Javu Club di Menteng untuk gigs punk/hardcore dan juga indie pop. Belakangan BB’s Bar yang super- sempit di Menteng sering disewa untuk acara garage rock-new wave-mellow punk juga rock yang kini sedang hot, seperti The Upstairs, Seringai, The Brandals, C’mon Lennon, Killed By Butterfly, Sajama Cut, Devotion dan banyak lagi. Di antara semuanya, mungkin yang paling `netral’ dan digunakan lintas-scene cuma Nirvana Café yangterletak di basement Hotel Maharadja, Jakarta Selatan. Di tempat ini pulalah, 13 Januari 2002 silam, Puppen `menghabisi riwayat’ mereka dalam sebuah konser bersejarah yang berjudul, “Puppen : Last Show Ever”, sebuah rentetan show akhir band Bandung ini sebelum membubarkan diri.
Yogya Sound: Gelar Baru buat Yogya!
Sekarang Yogya punya sebutan baru baru selain "kota gudeg" dan "kota pelajar". Anak-anak muda Yogya menggeliat dalam penciptaan sebuah genre baru dalam musik lokal. It’s Yogya sound!
Menyebut nama kota ini pastinya akan mengingatkan kita kepada beberapa hal yang istimewa. Kota yang masih terasa sebagai sebuah kerajaan karena keberadaan Sultannya. Kota yang lebih kita kenal dengan makanan khasnya bernama gudeg. Kota yang menawarkan sebuah jalanan eksotis bernama Malioboro. Atau kota yang dipenuhi oleh anak-anak muda dari berbagai daerah di Indonesia untuk menuntut ilmu di sana.
Tapi, ada sebuah kekhasan lain yang belum banyak disebut bila kita membicarakan kota ini. Yogya adalah kota musik. Yup, karena kehidupan bermusik di kota ini tidak bisa dibilang mati. Kalau kita datang ke kota ini dengan kereta api, kita pun bakal langsung disambut dengan musik. Tidak percaya? Cek, nih!
Di pelataran parkir Stasiun Tugu yang cuma beberapa langkah dari Malioboro itu, ada sebuah warung soto bernama Soto Sulung. Di situ sempat dikenal sebuah kelompok musik yang mengkhususkan diri menghibur pengunjung warung soto itu. Bermodal bas betot, kendang ukulele, dan beberapa alat gesek, kelompok ini menawarkan lagu-lagu mereka. Dari lagu tradisional sampai lagu lagu berbahasa Inggris.
Lalu beberapa langkah dari warung tersebut, sebelum menginjak Malioboro, ada Borobudur Bar. Sebuah tempat yang lebih banyak dikunjungi turis-turis asing ini menawarkan suguhan live musik. Biasa berkumandang musik musik rock and roll, reggae, atau musik country. Serasa di bar para cowboy.
Malam hari di Malioboro, akan banyak berseliweran para penyanyi jalanan yang modalnya bervariasi. Dari sekadar gitar, sampai yang modal bikin perkusi sederhana sebagai pengganti drum. Tapi, semua itu belum jadi modal apa-apa untuk membuat kota ini mendapat predikat kota musik. Orang bakal lebih mengenal Bandung dan Surabaya yang sudah melahirkan banyak musisi yang berhasil di industri musik lokal.
Dibanding Bandung
Bandung memang lebih dulu memulai invasi mereka di dunia musik lokal. Saat Bandung menawarkan Kahitna, Java Jive, Pure Saturday, Pas Band, /rif, dan sederet nama lain di angkatan itu, Yogya baru menawarkan Djaduk Ferianto dan Butet Kertaredjasa yang nuansa musiknya lebih kontemporer, tapi jauh dari selera pasar pop (baca: industri musik).
Memang sih, sempat juga muncul nama Rolland Band dan Tiga Band yang meramaikan musik nasional di tahun ’80-an. Tapi sayang, semua itu masih belum cukup untuk menyaingi Bandung. Generasi terbaru Bandung pun masih tetap produktif. Sebutlah Cokelat dan Peterpan. Belum lagi mereka yang berhasil dengan jalur indie seperti Koil dan Mocca.
Ya, musisi-musisi dengan karakter dan jenis musik yang sangat variatif ini menjadi kelebihan Bandung. Selain itu, didukung kondisi geografis yang dekat dengan Jakarta. Membuat mereka lebih mudah masuk ke jaringan industri.
Tapi, sejak tahun ’90-an, Yogya sudah berani berbangga. Nama Sheila On 7 mencatat sejarah fenomenal. Mereka grup pertama yang catatan penjualan tiga album pertamanya masing-masing melewati angka satu juta keping album. Sebuah prestasi yang kemudian membangkitkan gairah industri musik nasional. Dan tentunya gairah musik di Yogya.
Berikutnya muncul nama Jikustik, sebuah band yang awalnya hanya berniat main di kafé-kafé. Walaupun prestasi mereka tidak se-spektakuler Sheila On 7, tapi meninggalkan jejak yang dalam di dunia musik. Malah bisa melahirkan sosok Pongki, sang vokalis, yang ternyata bisa melesat sendiri sebagai salah satu pencipta lagu yang produktif mencetak hits.
Dua nama band ini bisa memancing kita untuk menengok Yogya. Ternyata ada geliat yang hebat di kota ini. Ada semangat menawarkan konsep musik yang lebih industry oriented. Easy listening jadi modal utama mereka.
Sumbangan perantau
Bicara soal variasi musik, Yogya sebenarnya enggak jauh tertinggal dari Bandung. Perlu diingat juga, para pelajar perantau dari berbagai daerah ini juga menyumbangkan influence mereka. Eits! bukan cuma daerah, tapi juga banyak yang kulitnya lebih terang, rambut blonde, dan mata hijau. Tentunya para "bule", secara langsung atau tidak, membuat nuansa musik Yogya jadi lebih kaya. Seberapa besar sumbangan para londo ini?
Esnanas awalnya didirikan oleh sekelompok anak muda yang sebagian besar siswa University of California. Mereka menawarkan punk dengan bermodal lagu-lagu Rancid, Helmet, hingga funk psychedhelic ala Red Hot Chilli Peppers.
Setelah itu, banyak pula band-band yang membawa style bahkan genre baru dari Barat ke Yogya. Uniknya, mereka ini bermunculan dengan memiliki karakter khas masing-masing. Misalnya saat Koil (band asal Bandung) naik daun dengan musik Industrial-nya, Yogya pun punya beberapa band yang memainkan musik sejenis di akhir tahun 90-an. Ada nama SKM, yang hanya berpesonel seorang vokalis dan gitaris, dibantu seperangkat komputer saat mereka manggung. Lalu muncul nama Teknoshit, yang sekarang malah jadi idolanya komunitas penggemar musik elektronik.
Kalau Bandung punya Pas Band dan /rif untuk rock alternatif, Yogya punya I Hate Mondayz yang menjadi bagian dari generasi awal band-band indie yang muncul di G-indie (nama program pemutaran lagu indie di radio lokal Yogya bernama Geronimo). Saat musik ska booming, Yogya punya ShaggyDog yang bertahan hingga sekarang. Sayangnya, album band-band ini belum bisa menembus pasar nasional. Peredarannya masih sangat terbatas.
Nah, itulah yang sekarang membuat cah-cah Yogya ini berlomba untuk menembus industri musik nasional. Dan akhirnya, sekarang munculah nama-nama baru pencetak hits. Macam Seventeen, yang sukses meloloskan hitsnya Cobalah. Konsep musik yang mereka sebut pop bandel ini, enggak jauh dengan dua pendahulunya: Easy listening.
Atmosfir segar
Sebelum kemunculan Seventeen, ada juga beberapa band Yogya yang muncul walaupun sepintas. Sony Music yang sukses dengan Sheila On 7, kelihatannya paling rajin menengok Yogya. Beberapa band muncul dalam album-album kompilasi yang mereka rilis. Sebutlah Colonyet di Skamania, ‘esnanas dan Shakey di Indie Ten II’. I Hate Mondayz dalam kompilasi Alternative Plus.
Setelah itu pergerakan yang terjadi pun makin hebat. Pergerakan ini didukung pula oleh perkembangan aspek-aspek penunjang. Studio-studio musik bukan lagi sekadar menawarkan tempat latihan. Tapi, sebagian besar mulai melengkapi diri dengan fasilitas untuk merekam sampai mixing karya-karya mereka.
Awalnya program radio G-Indie hanya mau menerima demo hasil rekaman Blass Studio. Karena, memang hanya studio milik Mas Fellix ini yang bisa menghasilkan rekaman dengan kualitas baik. Sekarang sangat banyak pilihan tempat untuk merekam lagu mereka. Hasilnya, ajang pemutaran lagu karya sendiri di radio Geronimo ini pun kebanjiran demo yang minta untuk diputar.
Muncul pula minor label yang tentunya sangat berguna bagi musisi Yogya. Awal kemunculan Jikustik di kancah nasional pun bermula dari kerja sama mereka dengan minor label bernama Woodles, yang bekerja sama dengan Warner Music. Gaya "perjuangan" jalur indie label pun terus berlanjut. Misalnya, dibantu oleh sebuah outlet penjual kaset dan CD. Seperti toko kaset Popeye yang berada di balik kemegahan Malioboro Mal, berhasil membuat dua album indie label ShaggyDog laris.
Nah, belakangan mulai bermunculan distro yang men-support penjualan kaset dan merchandise indie. Beberapa Clothing Company pun siap mendukung penampilan cah-cah band Yogya. Sementara untuk urusan berita dan tulisan tentang band-band indie, kita bisa baca majalah lokal bernama Blank.
Well, atmosfir ini jelas sangat mendukung perkembangan musik di kota gudeg.
Komunitas yang hidup
Kalau kita berjuang sendirian, mungkin bakal terasa berat. Tapi, kalau kita berkumpul bersama teman-teman dalam sebuah komunitas dan melakukan "perjuangan" bersama, itu lain soal. "Perjuangan" akan terasa lebih menyenangkan. Kita bisa berdiskusi, saling memberi masukan atau malah saling bantu kalau butuh pemain musik.
Sekarang ini mungkin komunitas Alamanda yang kita kenal. Tempat yang awalnya cuma studio latihan ini, memang jadi tempat nongkrong cah-cah band Yogya. Dari latihan, les musik, "ngotak-atik" lagu, diskusi soal program kerja, sampai hanya ngegosip sambil menikmati pisang bakar pun jadi.
Sebenarnya, Alamanda bukan komunitas musik pertama yang ada di Yogyakarta. Ada beberapa komunitas yang hadir duluan. Seperti Malioboro Classical, lalu Yogyakarta Corps Grinder, dan Realino. Tapi mereka lebih menkhususkan pada musik tertentu yang bisa kita lihat dari namanya.
Adapun Alamanda lebih kompleks dengan berbagai aliran. Belakangan juga disinyalir banyak komunitas musik yang berkumpul di studio-studio musik lain. Fakultas Filsafat UGM juga punya komunitas Sande Morning yang suka bikin acara setiap minggu pagi. Membuat suasana kompleks UGM makin meriah, selain lesehan lontong sayur dan orang-orang yang berolahraga pagi.
Dari situ memang banyak info dan ilmu yang menyebar untuk meningkatkan kualitas bermusik. Soal kemampuan, Yogya punya potensi yang bagus. Untuk yang ingin belajar musik secara formal, tentunya kita bisa melihat Institut Seni Indonesia (ISI). Dari sini biasanya muncul band band dengan ide dan konsep yang kontroversial dan membuka lahan baru. Bahkan, untuk yang seangkatan SMU, Yogya punya Sekolah Menengah Musik (SMM). Karena itu, bukan tidak mungkin anak-anak remaja mampu menghasilkan musik yang berkualitas.
Bergaul dong!
Kebangkitan para musisi Yogya ini juga didukung oleh kemauan mereka untuk membuka wawasan dan "bergaul" dengan daerah lain. Dalam hal ini Bandung dan Jakarta lebih diincar. Bandung karena masih rules, dan Jakarta yang jadi pusatnya industri musik.
Langkah ini diambil misalnya oleh ShaggyDog saat menggarap album kedua. Mereka memilih merekam lagu mereka di Reverse, studionya Richard Mutter. Termasuk rela ngamen di jalan Dago untuk membiayai hidup mereka selama itu. Tujuannya bukan cuma mencari hasil rekaman yang lebih bagus, tapi juga mengakrabkan diri dengan komunitas Bandung. Beberapa orang mencoba bergabung dengan Potlot, dan menyebarkan virusnya di Yogya. Dan tak sedikit yang mencoba jalan Sheila On 7, dengan mendatangi recording company satu per satu di Jakarta.
Mereka yang sudah suksespun membantu jalan keluar band-band Yogya lain. Endank Soekamti, band punk yang awalnya berniat merilis album indie ditawari Pongki Jikustik untuk bekerja sama. Akhirnya, Endank Soekamti memproduksi albumnya bersama Proton Record yang didirikan Pongki dan temannya yang bernama Tony. Proton kemudian menggaet Primagama Music (divisi musik lembaga pendidikan Primagama) dan Warner Music sebagai partner. Seperti karang yang akhirnya terkikis juga oleh ombak. Akhirnya, tembok industri musik nasional berhasil mereka tembus.
Mungkin suatu kebetulan, mungkin pula karena perusahaan rekaman mulai melihat Yogya sebagai produsen band yang potensial. Siapa sih yang enggak mau ketularan sukses Sony Music dengan Sheila On 7? Tapi, tentunya bukan cuma unsur daerah yang bakal membawa keberuntungan. Kualitas musik mereka juga dipertaruhkan. Maka, para perusahaan rekaman itu pun memilih jagoannya masing-masing.
Sekarang ini baru Seventeen yang menyusul Sheila On 7 dan Jikustik dalam menambah daftar band Yogya yang sudah merilis album. Tapi, gelombang besar sudah siap menyerbu di bulan September ini. ShaggyDog yang setiap pertunjukannya selalu dipenuhi penonton, siap menggebrak dengan dukungan EMI. Endank Soekamti siap membuat suasana lebih panas dengan musik punk bersama Proton dan Warner Music.
New Days akan memperkuat barisan artis produksi Bulletin. The Rain diproyeksikan menggantikan Naff sebagai ujung tombak Pro Sound Record. Dan Esnanas yang menunggu giliran rilis dari BMG. Akan hadir juga Mondayz yang merupakan jelmaan dari I Hate Mondayz yang akan merilis album mereka bersama minor label lokal Mix Pro. Belum lagi kiprah Hai Music Record yang siap-siap dengan produknya, Stereovilla.
Mungkin sekarang sudah saatnya Yogya mendapat julukan baru sebagai "kota musik" karena gelombang serbuan musisi Yogya ini dipastikan akan makin membesar. Kalau yang sekarang lebih didominasi komunitas Alamanda, bukan berarti komunitas lain siap-siap, pun sedang berbenah untuk menyusul. Mereka akan memberi warna baru musik Indonesia dengan Yogya Sound-nya!
Atau ada yang punya nama lebih pas buat Yogya?
Menyebut nama kota ini pastinya akan mengingatkan kita kepada beberapa hal yang istimewa. Kota yang masih terasa sebagai sebuah kerajaan karena keberadaan Sultannya. Kota yang lebih kita kenal dengan makanan khasnya bernama gudeg. Kota yang menawarkan sebuah jalanan eksotis bernama Malioboro. Atau kota yang dipenuhi oleh anak-anak muda dari berbagai daerah di Indonesia untuk menuntut ilmu di sana.
Tapi, ada sebuah kekhasan lain yang belum banyak disebut bila kita membicarakan kota ini. Yogya adalah kota musik. Yup, karena kehidupan bermusik di kota ini tidak bisa dibilang mati. Kalau kita datang ke kota ini dengan kereta api, kita pun bakal langsung disambut dengan musik. Tidak percaya? Cek, nih!
Di pelataran parkir Stasiun Tugu yang cuma beberapa langkah dari Malioboro itu, ada sebuah warung soto bernama Soto Sulung. Di situ sempat dikenal sebuah kelompok musik yang mengkhususkan diri menghibur pengunjung warung soto itu. Bermodal bas betot, kendang ukulele, dan beberapa alat gesek, kelompok ini menawarkan lagu-lagu mereka. Dari lagu tradisional sampai lagu lagu berbahasa Inggris.
Lalu beberapa langkah dari warung tersebut, sebelum menginjak Malioboro, ada Borobudur Bar. Sebuah tempat yang lebih banyak dikunjungi turis-turis asing ini menawarkan suguhan live musik. Biasa berkumandang musik musik rock and roll, reggae, atau musik country. Serasa di bar para cowboy.
Malam hari di Malioboro, akan banyak berseliweran para penyanyi jalanan yang modalnya bervariasi. Dari sekadar gitar, sampai yang modal bikin perkusi sederhana sebagai pengganti drum. Tapi, semua itu belum jadi modal apa-apa untuk membuat kota ini mendapat predikat kota musik. Orang bakal lebih mengenal Bandung dan Surabaya yang sudah melahirkan banyak musisi yang berhasil di industri musik lokal.
Dibanding Bandung
Bandung memang lebih dulu memulai invasi mereka di dunia musik lokal. Saat Bandung menawarkan Kahitna, Java Jive, Pure Saturday, Pas Band, /rif, dan sederet nama lain di angkatan itu, Yogya baru menawarkan Djaduk Ferianto dan Butet Kertaredjasa yang nuansa musiknya lebih kontemporer, tapi jauh dari selera pasar pop (baca: industri musik).
Memang sih, sempat juga muncul nama Rolland Band dan Tiga Band yang meramaikan musik nasional di tahun ’80-an. Tapi sayang, semua itu masih belum cukup untuk menyaingi Bandung. Generasi terbaru Bandung pun masih tetap produktif. Sebutlah Cokelat dan Peterpan. Belum lagi mereka yang berhasil dengan jalur indie seperti Koil dan Mocca.
Ya, musisi-musisi dengan karakter dan jenis musik yang sangat variatif ini menjadi kelebihan Bandung. Selain itu, didukung kondisi geografis yang dekat dengan Jakarta. Membuat mereka lebih mudah masuk ke jaringan industri.
Tapi, sejak tahun ’90-an, Yogya sudah berani berbangga. Nama Sheila On 7 mencatat sejarah fenomenal. Mereka grup pertama yang catatan penjualan tiga album pertamanya masing-masing melewati angka satu juta keping album. Sebuah prestasi yang kemudian membangkitkan gairah industri musik nasional. Dan tentunya gairah musik di Yogya.
Berikutnya muncul nama Jikustik, sebuah band yang awalnya hanya berniat main di kafé-kafé. Walaupun prestasi mereka tidak se-spektakuler Sheila On 7, tapi meninggalkan jejak yang dalam di dunia musik. Malah bisa melahirkan sosok Pongki, sang vokalis, yang ternyata bisa melesat sendiri sebagai salah satu pencipta lagu yang produktif mencetak hits.
Dua nama band ini bisa memancing kita untuk menengok Yogya. Ternyata ada geliat yang hebat di kota ini. Ada semangat menawarkan konsep musik yang lebih industry oriented. Easy listening jadi modal utama mereka.
Sumbangan perantau
Bicara soal variasi musik, Yogya sebenarnya enggak jauh tertinggal dari Bandung. Perlu diingat juga, para pelajar perantau dari berbagai daerah ini juga menyumbangkan influence mereka. Eits! bukan cuma daerah, tapi juga banyak yang kulitnya lebih terang, rambut blonde, dan mata hijau. Tentunya para "bule", secara langsung atau tidak, membuat nuansa musik Yogya jadi lebih kaya. Seberapa besar sumbangan para londo ini?
Esnanas awalnya didirikan oleh sekelompok anak muda yang sebagian besar siswa University of California. Mereka menawarkan punk dengan bermodal lagu-lagu Rancid, Helmet, hingga funk psychedhelic ala Red Hot Chilli Peppers.
Setelah itu, banyak pula band-band yang membawa style bahkan genre baru dari Barat ke Yogya. Uniknya, mereka ini bermunculan dengan memiliki karakter khas masing-masing. Misalnya saat Koil (band asal Bandung) naik daun dengan musik Industrial-nya, Yogya pun punya beberapa band yang memainkan musik sejenis di akhir tahun 90-an. Ada nama SKM, yang hanya berpesonel seorang vokalis dan gitaris, dibantu seperangkat komputer saat mereka manggung. Lalu muncul nama Teknoshit, yang sekarang malah jadi idolanya komunitas penggemar musik elektronik.
Kalau Bandung punya Pas Band dan /rif untuk rock alternatif, Yogya punya I Hate Mondayz yang menjadi bagian dari generasi awal band-band indie yang muncul di G-indie (nama program pemutaran lagu indie di radio lokal Yogya bernama Geronimo). Saat musik ska booming, Yogya punya ShaggyDog yang bertahan hingga sekarang. Sayangnya, album band-band ini belum bisa menembus pasar nasional. Peredarannya masih sangat terbatas.
Nah, itulah yang sekarang membuat cah-cah Yogya ini berlomba untuk menembus industri musik nasional. Dan akhirnya, sekarang munculah nama-nama baru pencetak hits. Macam Seventeen, yang sukses meloloskan hitsnya Cobalah. Konsep musik yang mereka sebut pop bandel ini, enggak jauh dengan dua pendahulunya: Easy listening.
Atmosfir segar
Sebelum kemunculan Seventeen, ada juga beberapa band Yogya yang muncul walaupun sepintas. Sony Music yang sukses dengan Sheila On 7, kelihatannya paling rajin menengok Yogya. Beberapa band muncul dalam album-album kompilasi yang mereka rilis. Sebutlah Colonyet di Skamania, ‘esnanas dan Shakey di Indie Ten II’. I Hate Mondayz dalam kompilasi Alternative Plus.
Setelah itu pergerakan yang terjadi pun makin hebat. Pergerakan ini didukung pula oleh perkembangan aspek-aspek penunjang. Studio-studio musik bukan lagi sekadar menawarkan tempat latihan. Tapi, sebagian besar mulai melengkapi diri dengan fasilitas untuk merekam sampai mixing karya-karya mereka.
Awalnya program radio G-Indie hanya mau menerima demo hasil rekaman Blass Studio. Karena, memang hanya studio milik Mas Fellix ini yang bisa menghasilkan rekaman dengan kualitas baik. Sekarang sangat banyak pilihan tempat untuk merekam lagu mereka. Hasilnya, ajang pemutaran lagu karya sendiri di radio Geronimo ini pun kebanjiran demo yang minta untuk diputar.
Muncul pula minor label yang tentunya sangat berguna bagi musisi Yogya. Awal kemunculan Jikustik di kancah nasional pun bermula dari kerja sama mereka dengan minor label bernama Woodles, yang bekerja sama dengan Warner Music. Gaya "perjuangan" jalur indie label pun terus berlanjut. Misalnya, dibantu oleh sebuah outlet penjual kaset dan CD. Seperti toko kaset Popeye yang berada di balik kemegahan Malioboro Mal, berhasil membuat dua album indie label ShaggyDog laris.
Nah, belakangan mulai bermunculan distro yang men-support penjualan kaset dan merchandise indie. Beberapa Clothing Company pun siap mendukung penampilan cah-cah band Yogya. Sementara untuk urusan berita dan tulisan tentang band-band indie, kita bisa baca majalah lokal bernama Blank.
Well, atmosfir ini jelas sangat mendukung perkembangan musik di kota gudeg.
Komunitas yang hidup
Kalau kita berjuang sendirian, mungkin bakal terasa berat. Tapi, kalau kita berkumpul bersama teman-teman dalam sebuah komunitas dan melakukan "perjuangan" bersama, itu lain soal. "Perjuangan" akan terasa lebih menyenangkan. Kita bisa berdiskusi, saling memberi masukan atau malah saling bantu kalau butuh pemain musik.
Sekarang ini mungkin komunitas Alamanda yang kita kenal. Tempat yang awalnya cuma studio latihan ini, memang jadi tempat nongkrong cah-cah band Yogya. Dari latihan, les musik, "ngotak-atik" lagu, diskusi soal program kerja, sampai hanya ngegosip sambil menikmati pisang bakar pun jadi.
Sebenarnya, Alamanda bukan komunitas musik pertama yang ada di Yogyakarta. Ada beberapa komunitas yang hadir duluan. Seperti Malioboro Classical, lalu Yogyakarta Corps Grinder, dan Realino. Tapi mereka lebih menkhususkan pada musik tertentu yang bisa kita lihat dari namanya.
Adapun Alamanda lebih kompleks dengan berbagai aliran. Belakangan juga disinyalir banyak komunitas musik yang berkumpul di studio-studio musik lain. Fakultas Filsafat UGM juga punya komunitas Sande Morning yang suka bikin acara setiap minggu pagi. Membuat suasana kompleks UGM makin meriah, selain lesehan lontong sayur dan orang-orang yang berolahraga pagi.
Dari situ memang banyak info dan ilmu yang menyebar untuk meningkatkan kualitas bermusik. Soal kemampuan, Yogya punya potensi yang bagus. Untuk yang ingin belajar musik secara formal, tentunya kita bisa melihat Institut Seni Indonesia (ISI). Dari sini biasanya muncul band band dengan ide dan konsep yang kontroversial dan membuka lahan baru. Bahkan, untuk yang seangkatan SMU, Yogya punya Sekolah Menengah Musik (SMM). Karena itu, bukan tidak mungkin anak-anak remaja mampu menghasilkan musik yang berkualitas.
Bergaul dong!
Kebangkitan para musisi Yogya ini juga didukung oleh kemauan mereka untuk membuka wawasan dan "bergaul" dengan daerah lain. Dalam hal ini Bandung dan Jakarta lebih diincar. Bandung karena masih rules, dan Jakarta yang jadi pusatnya industri musik.
Langkah ini diambil misalnya oleh ShaggyDog saat menggarap album kedua. Mereka memilih merekam lagu mereka di Reverse, studionya Richard Mutter. Termasuk rela ngamen di jalan Dago untuk membiayai hidup mereka selama itu. Tujuannya bukan cuma mencari hasil rekaman yang lebih bagus, tapi juga mengakrabkan diri dengan komunitas Bandung. Beberapa orang mencoba bergabung dengan Potlot, dan menyebarkan virusnya di Yogya. Dan tak sedikit yang mencoba jalan Sheila On 7, dengan mendatangi recording company satu per satu di Jakarta.
Mereka yang sudah suksespun membantu jalan keluar band-band Yogya lain. Endank Soekamti, band punk yang awalnya berniat merilis album indie ditawari Pongki Jikustik untuk bekerja sama. Akhirnya, Endank Soekamti memproduksi albumnya bersama Proton Record yang didirikan Pongki dan temannya yang bernama Tony. Proton kemudian menggaet Primagama Music (divisi musik lembaga pendidikan Primagama) dan Warner Music sebagai partner. Seperti karang yang akhirnya terkikis juga oleh ombak. Akhirnya, tembok industri musik nasional berhasil mereka tembus.
Mungkin suatu kebetulan, mungkin pula karena perusahaan rekaman mulai melihat Yogya sebagai produsen band yang potensial. Siapa sih yang enggak mau ketularan sukses Sony Music dengan Sheila On 7? Tapi, tentunya bukan cuma unsur daerah yang bakal membawa keberuntungan. Kualitas musik mereka juga dipertaruhkan. Maka, para perusahaan rekaman itu pun memilih jagoannya masing-masing.
Sekarang ini baru Seventeen yang menyusul Sheila On 7 dan Jikustik dalam menambah daftar band Yogya yang sudah merilis album. Tapi, gelombang besar sudah siap menyerbu di bulan September ini. ShaggyDog yang setiap pertunjukannya selalu dipenuhi penonton, siap menggebrak dengan dukungan EMI. Endank Soekamti siap membuat suasana lebih panas dengan musik punk bersama Proton dan Warner Music.
New Days akan memperkuat barisan artis produksi Bulletin. The Rain diproyeksikan menggantikan Naff sebagai ujung tombak Pro Sound Record. Dan Esnanas yang menunggu giliran rilis dari BMG. Akan hadir juga Mondayz yang merupakan jelmaan dari I Hate Mondayz yang akan merilis album mereka bersama minor label lokal Mix Pro. Belum lagi kiprah Hai Music Record yang siap-siap dengan produknya, Stereovilla.
Mungkin sekarang sudah saatnya Yogya mendapat julukan baru sebagai "kota musik" karena gelombang serbuan musisi Yogya ini dipastikan akan makin membesar. Kalau yang sekarang lebih didominasi komunitas Alamanda, bukan berarti komunitas lain siap-siap, pun sedang berbenah untuk menyusul. Mereka akan memberi warna baru musik Indonesia dengan Yogya Sound-nya!
Atau ada yang punya nama lebih pas buat Yogya?
saosin live in concert
Konser yang saya nantikan akhirnya hadir, bahkan semakin dekat dengan kediaman saya di Bandung. SAOSIN LIVE IN CONCERT. Band yang semasa SMA dulu saya sering dengarkan lagu-lagunya. Ingat saat-saat meneriakkan ‘Seven Years ’ sewaktu jam istirahat sekolah, hingga ‘You’re Not Alone’ yang menemani saya dan sahabat-sahabat saya bermain winning eleven dirumah.
Konser yang diadakan di The venue Eldorado tanggal 31 January 2010 itu berlansung sangat meriah. Penonton sangat antusias akan kehadiran SAOSIN dengan lagu-lagu mereka yang hits dan membuat kita untuk berjingkrak.
Review mengenai konser SAOSIN mungkin sudah banyak mengenai performance mereka ataupun mengenai suasana konsernya. Namun disini saya hanya ingin mereview konser SAOSIN ini dari pesan menarik sang vokalis, Cove Reber. Cove mengungkapkan pesan manis dihadapan para penggemar SAOSIN yang sangat mengandung makna, kurang lebih seperti ini, “Apapun kerjaan kalian, sebagai dokter, pengacara, atau apapun, bekerja keraslah dengan passion. Seperti Saya(Cove Reber) yang bergabung dengan band ini, lalu dapat berada di Indonesia, semua harus punya mimpi, kejar dan jagalah selalu mimpi itu.”
Sebuah pernyataan menarik yang terlontar dari sang vokalis. Sudah jelas terbukti SAOSIN memang berhasil keliling dunia akibat karya mereka yang disukai banyak penggemar. Lagi-lagi orang sukses berkata bahwa kita harus punya mimpi untuk menggerakkan kita. Jangan pernah takut untuk mengikuti passion. Bekerja kerasalah bersama passion itu. Karena itulah yang akan membawa kita pada suatu kesuksesan yang membahagiakan.
PERGESERAN BAND INDIE
Seharusnya band Indie merupakan band yang beridealis dengan karakter musikalitas dan menghasilkan sesuatu yang baru berdasarkan eksperimennya tanpa mengikuti trend, sekaligus mereka melakukan aktivitas band secara mandiri, seperti menitipkan demo ke radio, mencari gigs hingga memproduksi album. Apalagi pegenalan dan penjualan karya sudah dapat dilakukan melalui teknologi internet.
Seiring jaman, tidak salah kalau mereka mendapatkan akses yang mudah untuk mendukung aktivitas band indie itu sendiri. Kebutuhan kepada seseorang yang dipercayai untuk mengurusi band, banyaknya telah menjadi kebutuhan band indie (mandiri). Selain itu kertertarikan Indie maupun Major Label pun akan bersikap mengikuti keadaan idealisme band itu sendiri yang dilihat dari karya, budaya dan massa.
Suatu pekerjaan rumah untuk penggemar mereka adalah mengenalkan dan mengenalkan karya mereka. Ini lebih efektif dan mungkin akan menarik industri, baik Indie ataupun Major Label. Perlahan budaya akan berubah untuk menikmati karya-karya dari musisi kritis dengan keidealisan karyanya. Dalam kenyataannya bentukan Label yang dikatakan Major mempertimbangkan pasar yang luas. Hanya saja mereka tidak berani untuk berbuat lebih banyak pada budaya musik yang berkualitas dengan alasan budaya itu sendiri telah menjiwai. Sebaliknya, hal ini adalah Indie Label yang berjasa besar. Sebuah harga yang harus mahal untuk karya musikalitas yang berkualitas, bukan karya yang terlahir karena mengikuti trend, tuntutan budaya atau industri musik/hiburan.
Bagaimanapun hal yang terpenting merupakan karya yang berkualitas dengan keidealisan dan berbeda, terlepas dari kemasan yang akan mereka baluti. Setuju kalau budaya Indonesia itu harus dilestarikan dengan kualitas dunia tentunya juga. Dan bukan mulahan melestarikan budaya luar. Dari artikel ini menyatakan bahwa band indie saat ini, banyaknya hanyalah merupakan musik indie bukan pergerakan dari band yang mengatasnamakan band indie. Jangan terjebak oleh perasaan minoritas.
Semangat berkarya dengan musik yang berkualitas akan jauh lebih bernilai.
Seiring jaman, tidak salah kalau mereka mendapatkan akses yang mudah untuk mendukung aktivitas band indie itu sendiri. Kebutuhan kepada seseorang yang dipercayai untuk mengurusi band, banyaknya telah menjadi kebutuhan band indie (mandiri). Selain itu kertertarikan Indie maupun Major Label pun akan bersikap mengikuti keadaan idealisme band itu sendiri yang dilihat dari karya, budaya dan massa.
Suatu pekerjaan rumah untuk penggemar mereka adalah mengenalkan dan mengenalkan karya mereka. Ini lebih efektif dan mungkin akan menarik industri, baik Indie ataupun Major Label. Perlahan budaya akan berubah untuk menikmati karya-karya dari musisi kritis dengan keidealisan karyanya. Dalam kenyataannya bentukan Label yang dikatakan Major mempertimbangkan pasar yang luas. Hanya saja mereka tidak berani untuk berbuat lebih banyak pada budaya musik yang berkualitas dengan alasan budaya itu sendiri telah menjiwai. Sebaliknya, hal ini adalah Indie Label yang berjasa besar. Sebuah harga yang harus mahal untuk karya musikalitas yang berkualitas, bukan karya yang terlahir karena mengikuti trend, tuntutan budaya atau industri musik/hiburan.
Bagaimanapun hal yang terpenting merupakan karya yang berkualitas dengan keidealisan dan berbeda, terlepas dari kemasan yang akan mereka baluti. Setuju kalau budaya Indonesia itu harus dilestarikan dengan kualitas dunia tentunya juga. Dan bukan mulahan melestarikan budaya luar. Dari artikel ini menyatakan bahwa band indie saat ini, banyaknya hanyalah merupakan musik indie bukan pergerakan dari band yang mengatasnamakan band indie. Jangan terjebak oleh perasaan minoritas.
Semangat berkarya dengan musik yang berkualitas akan jauh lebih bernilai.
The Journey, Album Kompilasi UKM Musik UMY
YOGYA (KRjogja.com) - Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Musik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam waktu dekat akan segera merilis album terbarunya. Album yang telah digarap sejak tahun 2008 tersebut diberi judul The Journey, A Compilation Album Of UKM Musik UMY, dan akan dilaunching pada Januari 2010.
Tim Promosi dan Produksi Album The Journey, Elhuda mangungkapkan, tujuan awal dibuatnya album ini adalah untuk mendokumentasikan karya-karya anggota UKM Musik UMY. Sebab, dalam praktek kegiatan yang diadakan oleh UKM ini, seringkali banyak karya musik yang tidak
terdokumentasikan.
"Pada perkembangan selanjutnya, tujuan dirilisnya album ini juga sebagai sebuah bentuk apresiasi terhadap banyaknya genre musik yang berkembang di kalangan pemusik indie. Ini sekaligus juga menegaskan keberagaman jenis musik yang kita miliki dan tak hanya berkutat pada aliran pop maupun Melayu," tuturnya di Yogyakarta, Senin (28/12).
Ia menerangkan, dalam album The Journey disajikan musik dengan berbagai aliran/genre. Mulai dari pop, rock, regge, alternatif, rock and roll, underground dan lain sebagainya. Lagu yang disuguhkan berjumlah 14 buah yang merupakan hasil karya dari 14 band mahasiswa UMY.
Keempatbelas band tersebut adalah Dream Society, Lain Dunia, Orkes Sehat Jiwa CRP, Devina, Cosca, Garis Tepi, In-Potent, Newskin, Orochi, Got Me Blind, Rasio, Doraemon Kills Hulk, De’Sister’s, dan Arul.
”Perlu diketahui pula, semua band dari UKM Musik UMY ini, mulai dari yang paling tua De’sister’s hingga yang termuda Doraemon Kills Hulk dan beberapa band lainnya sudah menjadi band yang terkenal di tataran band indie Yogyakarta,” ujarnya.
Huda menjelaskan, The Journey adalah album swadaya UKM Musik UMY. Dimana semua proses produksi mulai dari penciptaan dan pengumpulan materi lagu, recording, editing, hingga pembuatan cover semua dikerjakan secara mandiri.
"Recording kami kerjakan di studio UKM dan beberapa rumah kos anak-anak UKM. Dengan berbagai kemajuan teknologi yang ada sekarang, kami cukup dipermudah dalam mengerjakan proses rekaman. Pengerjaan ide menjadi sebuah karya, penggarapan cover dan lain sebagainya juga kami lakukan sendiri," ungkapnya.
Mengenai target penjualan album, Huda mengaku bahwa Tim Produksi tidak menargetkan penjualan album yang tinggi. "Sesuai dengan tujuannya, album ini adalah sebagai bentuk dokumentasi atas karya-karya mahasiwa UMY dan apresiasi terhadap multi genre di dunia permusikan Indonesia. Sehingga kami nggak terlalu 'ngoyo' untuk jualan,” tandasnya. (Ran)
Tim Promosi dan Produksi Album The Journey, Elhuda mangungkapkan, tujuan awal dibuatnya album ini adalah untuk mendokumentasikan karya-karya anggota UKM Musik UMY. Sebab, dalam praktek kegiatan yang diadakan oleh UKM ini, seringkali banyak karya musik yang tidak
terdokumentasikan.
"Pada perkembangan selanjutnya, tujuan dirilisnya album ini juga sebagai sebuah bentuk apresiasi terhadap banyaknya genre musik yang berkembang di kalangan pemusik indie. Ini sekaligus juga menegaskan keberagaman jenis musik yang kita miliki dan tak hanya berkutat pada aliran pop maupun Melayu," tuturnya di Yogyakarta, Senin (28/12).
Ia menerangkan, dalam album The Journey disajikan musik dengan berbagai aliran/genre. Mulai dari pop, rock, regge, alternatif, rock and roll, underground dan lain sebagainya. Lagu yang disuguhkan berjumlah 14 buah yang merupakan hasil karya dari 14 band mahasiswa UMY.
Keempatbelas band tersebut adalah Dream Society, Lain Dunia, Orkes Sehat Jiwa CRP, Devina, Cosca, Garis Tepi, In-Potent, Newskin, Orochi, Got Me Blind, Rasio, Doraemon Kills Hulk, De’Sister’s, dan Arul.
”Perlu diketahui pula, semua band dari UKM Musik UMY ini, mulai dari yang paling tua De’sister’s hingga yang termuda Doraemon Kills Hulk dan beberapa band lainnya sudah menjadi band yang terkenal di tataran band indie Yogyakarta,” ujarnya.
Huda menjelaskan, The Journey adalah album swadaya UKM Musik UMY. Dimana semua proses produksi mulai dari penciptaan dan pengumpulan materi lagu, recording, editing, hingga pembuatan cover semua dikerjakan secara mandiri.
"Recording kami kerjakan di studio UKM dan beberapa rumah kos anak-anak UKM. Dengan berbagai kemajuan teknologi yang ada sekarang, kami cukup dipermudah dalam mengerjakan proses rekaman. Pengerjaan ide menjadi sebuah karya, penggarapan cover dan lain sebagainya juga kami lakukan sendiri," ungkapnya.
Mengenai target penjualan album, Huda mengaku bahwa Tim Produksi tidak menargetkan penjualan album yang tinggi. "Sesuai dengan tujuannya, album ini adalah sebagai bentuk dokumentasi atas karya-karya mahasiwa UMY dan apresiasi terhadap multi genre di dunia permusikan Indonesia. Sehingga kami nggak terlalu 'ngoyo' untuk jualan,” tandasnya. (Ran)
Komunitas Indie Bandung Luncurkan Album Rock
Bandung (ANTARA News) - Ribuan anak muda yang tergabung dalam komunitas indie memenuhi kawasan Eldorado Bandung, Sabtu malam larut dalam acara peluncuran album yang digawangi The Sigit sebuah band beraliran rock n roll.
Antusias komunitas indie yang memenuhi kapasitas lokasi acara sekitar 3.000 orang tampak terlihat dari suasana melebur kendati penuh sesak dan tanpa menyisakan sedikitpun ruang kosong.
Acara tersebut merupakan acara peluncuran album kompilasi terbaru band indie yang digawangi band beraliran rock n roll yaitu The Sigit yang juga diisi pula grup band indie lainnya.
Hal menarik adalah pengunjung acara tersebut ternyata tidak hanya dari Bandung, Komunitas Indie Jogjakarta dan Semarang juga hadir di acara tersebut. Telebih lagi banyak juga para pengunjung yang datang dari Jakarta.
Selain itu antusiasme terlihat jelas walaupun tiket masuk dipatok dengan harga Rp20.000,- namun, tidak menyurutkan anak-anak komunitas indie tersebut.
Acara tersebut dimulai pada pukul 20.00 WIB tetapi antusias ribuan anak muda sudah memenuhi kawasan Eldorado dan sekitar Jalan Setiabudhi yang macet total.
Tidak kalah juga menarik adalah pada acara tersebut walaupun menyajikan band yang beraliran cukup keras dengan alunan rock n roll tetapi para pengunjung tidak diperkenankan untuk merokok apalagi minuman keras.
The Sigit band indie yang mandiri tanpa mempergunakan label rekaman musik yang terkenal atau sudah besar. The Sigit telah berdiri selama enam tahun di pentas musik indie Indonesia dan merupakan band asli dari bandung.
Band tersebut digawangi oleh empat orang yaitu Farry Ichsan (gitaris), Recti (Vokalis), Adit (Basis), dan Donar armand (Drumer).
"Ini merupakan album kedua kami berjudul dyslexia terdiri dari 11 lagu, percampuran antara lagu baru dan lagu lama, dan semua lagu mempergunakan bahasa Inggris," kata Farry selaku gitaris.
Diakui mereka telah manggung sebanyak 300 kali di Kota Bandung dan ini yang ke-301. belum termasuk di daerah lain seperti Jogja, semarang, Medan, Balikpapan, dan lainnya, ujar Recti (vocalis).
Recti menjelaskan bahwa sulit sekali mempertahankan band dengan status indie, karena dari segi materi band indie tidak banyak menghasilkan uang. Tetapi karena kecintaan akan bermusik maka terus semangat. (*)
Antusias komunitas indie yang memenuhi kapasitas lokasi acara sekitar 3.000 orang tampak terlihat dari suasana melebur kendati penuh sesak dan tanpa menyisakan sedikitpun ruang kosong.
Acara tersebut merupakan acara peluncuran album kompilasi terbaru band indie yang digawangi band beraliran rock n roll yaitu The Sigit yang juga diisi pula grup band indie lainnya.
Hal menarik adalah pengunjung acara tersebut ternyata tidak hanya dari Bandung, Komunitas Indie Jogjakarta dan Semarang juga hadir di acara tersebut. Telebih lagi banyak juga para pengunjung yang datang dari Jakarta.
Selain itu antusiasme terlihat jelas walaupun tiket masuk dipatok dengan harga Rp20.000,- namun, tidak menyurutkan anak-anak komunitas indie tersebut.
Acara tersebut dimulai pada pukul 20.00 WIB tetapi antusias ribuan anak muda sudah memenuhi kawasan Eldorado dan sekitar Jalan Setiabudhi yang macet total.
Tidak kalah juga menarik adalah pada acara tersebut walaupun menyajikan band yang beraliran cukup keras dengan alunan rock n roll tetapi para pengunjung tidak diperkenankan untuk merokok apalagi minuman keras.
The Sigit band indie yang mandiri tanpa mempergunakan label rekaman musik yang terkenal atau sudah besar. The Sigit telah berdiri selama enam tahun di pentas musik indie Indonesia dan merupakan band asli dari bandung.
Band tersebut digawangi oleh empat orang yaitu Farry Ichsan (gitaris), Recti (Vokalis), Adit (Basis), dan Donar armand (Drumer).
"Ini merupakan album kedua kami berjudul dyslexia terdiri dari 11 lagu, percampuran antara lagu baru dan lagu lama, dan semua lagu mempergunakan bahasa Inggris," kata Farry selaku gitaris.
Diakui mereka telah manggung sebanyak 300 kali di Kota Bandung dan ini yang ke-301. belum termasuk di daerah lain seperti Jogja, semarang, Medan, Balikpapan, dan lainnya, ujar Recti (vocalis).
Recti menjelaskan bahwa sulit sekali mempertahankan band dengan status indie, karena dari segi materi band indie tidak banyak menghasilkan uang. Tetapi karena kecintaan akan bermusik maka terus semangat. (*)
COPYRIGHT © 2009
EMI Music Gugat Hi5 dan YouTube
Berita terhangat datang dari EMI Music, salah satu perusahaan pemegang label musik terbesar yang berkantor pusat di London, Inggris, yang sudah tersohor tidak hanya di Indonesia, namun juga di dunia. EMI telah mengajukan tuntutan ke pengadilan atas pelanggaran hak yang dilakukan oleh Hi5, VideoEgg, dan sepuluh terdakwa John Doe. Inti dari gugatan EMI adalah penyalahgunaan content EMI yang berlebihan pada Hi5, khusunya musik video.
Sebelumnya, EMI masih tetap berlaku sebagai penggugat, telah mengajukan tuntutan kepada AllofMP3, YouTube, Apple, MP3Tunes, XM Radio, Infospace, dan bahkan The Beatles. Salah seorang sumber dari EMI mengungkapkan, pihak yang digugat sudah melakukan negosiasi dengan pihak EMI setelah EMI mengajukan gugatan. Namun, hingga sekarang, mereka tidak pernah mencapai kesepakatan dengan EMI dan EMI pun belum memberikan konfirmasi lebih lanjut kepada pers. Hal ini dikarenakan pihak EMI ingin menegakkan peraturan atas haknya sebagai pemegang lisensi termasuk musik video dan berhak untuk mengurangi pembajakan lagu yang berlebihan, yang telah merugikan EMI selama ini.
Seperti contohnya, VideoEgg, sebuah situs yang menyediakan fungsi video kepada Hi5 di masa lalu, namun perjanjian dengan EMI baru berakhir pada bulan April 2008 dan kemudian mereka tidak bekerja sama lagi. Fakta bahwa EMI memasukkan VideoEgg dalam daftar terdakwa, menunjukkan bahwa EMI sangat peduli dengan adanya pelanggaran hak cipta, dan pihak EMI hanya ingin VideoEgg membayar segala hal yang ada dalam perjanjian yang terjadi sebelum berakhir di bulan April 2008.
Pihak VideoEgg mengungkapkan bahwa VideoEgg telah memenuhi segala permintaan dari DCMA (Defense Contract Management Agency), namun tidak pernah menerima dari EMI. VideoEgg juga menggunakan AudibleMagic, yang dapat mengidentifikasi dan secara proaktif akan menghapus material musik yang berupa copyrighted material.(h_n)
Sebelumnya, EMI masih tetap berlaku sebagai penggugat, telah mengajukan tuntutan kepada AllofMP3, YouTube, Apple, MP3Tunes, XM Radio, Infospace, dan bahkan The Beatles. Salah seorang sumber dari EMI mengungkapkan, pihak yang digugat sudah melakukan negosiasi dengan pihak EMI setelah EMI mengajukan gugatan. Namun, hingga sekarang, mereka tidak pernah mencapai kesepakatan dengan EMI dan EMI pun belum memberikan konfirmasi lebih lanjut kepada pers. Hal ini dikarenakan pihak EMI ingin menegakkan peraturan atas haknya sebagai pemegang lisensi termasuk musik video dan berhak untuk mengurangi pembajakan lagu yang berlebihan, yang telah merugikan EMI selama ini.
Seperti contohnya, VideoEgg, sebuah situs yang menyediakan fungsi video kepada Hi5 di masa lalu, namun perjanjian dengan EMI baru berakhir pada bulan April 2008 dan kemudian mereka tidak bekerja sama lagi. Fakta bahwa EMI memasukkan VideoEgg dalam daftar terdakwa, menunjukkan bahwa EMI sangat peduli dengan adanya pelanggaran hak cipta, dan pihak EMI hanya ingin VideoEgg membayar segala hal yang ada dalam perjanjian yang terjadi sebelum berakhir di bulan April 2008.
Pihak VideoEgg mengungkapkan bahwa VideoEgg telah memenuhi segala permintaan dari DCMA (Defense Contract Management Agency), namun tidak pernah menerima dari EMI. VideoEgg juga menggunakan AudibleMagic, yang dapat mengidentifikasi dan secara proaktif akan menghapus material musik yang berupa copyrighted material.(h_n)
Merekam Gelora 'Indie'
Kencangkan sabuk pengaman. Anda akan bertamasya ke dunia yang sama sekali lain. Sebuah jagat majalah terbitan anak muda zaman sekarang yang betul-betul jauh dari tertib jurnalistik. Majalah yang punya jurus kritis tapi juga bodor, segar, dan cenderung seenak gue, kocak lagi nyentrik. Majalah "indie" (diambil dari kata "independen", karena tidak disokong dana oleh penerbitan besar) ini memang edan. Tata letak keren, sarat eksperimen, dan tidak jarang ruwet sampai bikin bingung. Semua artikel ditulis dengan bahasa gaul gado-gado, slank campuran Inggris-Indonesia, semisal awrite (all right), bro (brother), dan begowl (bergaul). Pendeknya, kosakata yang ada di majalah indie ini bakal membuat para pembaca majalah konvensional merasa sudah uzur. Topik tulisan yang dimuat cukup beragam, dari sejarah musik jazz, sejarah perbudakan, asal-muasal pionir kelompok musik punk The Sex Pistols, sampai artikel ringan tentang "burket" atawa bubur ketek. Seluruhnya diramu dengan gaya terjun bebas. Ada artikel yang belum tuntas dan hanya dipungkasi dengan kalimat "Udahan ya, gue males nih". Artikel lainnya diawali dengan umpatan "anjing" yang dipelesetkan menjadi "anjirrr". Pengantar redaksi pun tidak kalah seru: maap, so bloody sorry karena terlambat terbit. Jurus nyentrik habis tersebut sukses memikat anak-anak muda. Ripple Magazine, misalnya, bermula pada tahun 1999. Kala itu Ripple hanya berupa katalog produk-produk busana yang dipajang di distro (distribution outlet, toko independen yang menjajakan barang-barang indie) 347, Bandung. Isi katalog pun makin gurih dengan liputan aktivitas gaya hidup seperti papan luncur (skateboard), selancar, serta dinamika komunitas punk yang ada di pojok-pojok Bandung. Ripple kian berwarna dengan adanya ulasan musik, juga laporan pertunjukan berbagai band indie label yang memang sedang marak di Bandung. The Milo, Mocca, KOIL, Rocket Rockers, Superman Is Dead adalah contoh band indie yang melejit namanya setelah diulas oleh Ripple. "Secara enggak sadar, kita ikut mempengaruhi perkembangan musik indie di negeri ini," kata Noor al-Kautsar, 24 tahun, Redaktur Senior Ripple. Sampai kini, menurut Noor, tidak kurang dari seribu contoh rekaman yang sudah dikirim berbagai band indie kepada redaksi Ripple. Pamor Ripple pun tambah mencorong. Oplah yang 5.000 di awal terbitan terus melonjak hingga 10 ribu eksemplar. Padahal, harganya berangsur menanjak dari Rp 3.500, Rp 6.500, hingga kini jadi Rp 20.000 per buah. Wilayah peredaran pun telah meluas meliputi Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan. Sejatinya, Ripple bukan pemain pertama di ladang media indie. Pada tahun 1999, telah terbit Trolley—antara lain diawaki Dewi "Supernova" Lestari—yang membidik pasar komunitas anak muda pencinta musik dan seni rupa. Sayang, napas Trolley tidak panjang dan berstatus almarhum setelah beberapa kali terbit. Esa hilang, dua terbilang. Berhentinya Trolley disusul terbitnya majalah-majalah indie lain dengan napas serupa. Dari Yogyakarta, muncul Outmagz dan Blank! yang membidik pasar pencinta desain grafis, musik, dan seni rupa. Lalu ada Pause dan Retas Magazine (Bandung), MTeens Magazine (Medan), dan Sinkink (Solo). Sesuai dengan predikat yang disandang, majalah indie lebih menge- depankan semangat mandiri. Spirit kebebasan inilah yang amat jitu memikat jiwa-jiwa muda. Media independen pun kemudian menjelma menjadi bagian dari gaya hidup anak muda yang berkarakter cenderung pemberontak. "Ini yang gue cari," tutur Anne sembari membolak-balik halaman Outmagz. "Isinya gak kayak majalah remaja lain yang cuma tahu Britney Spears dan Westlife," kata pelajar SMU di Jakarta Selatan ini. Soal bisnis, media independen memang unik. Hitung-hitungan bisnis—balik modal, untung-rugi—yang konvensional tidak bisa sepenuhnya berlaku. Ripple, umpamanya, sampai kini belum bisa menggaji awak redaksinya dengan layak. "Masih di bawah upah minimum regional," kata Noor al-Kautsar sembari terbahak. Maklumlah, media indie menekankan prinsip dasar DIY (do it yourself), dari hulu sampai hilir, yang boleh jadi tidak ekonomis. Segalanya dikerjakan sendiri dengan melibatkan jaringan kalangan indie, misalnya iklan dari band indie, di- pasarkan di outlet distro, juga di- promosikan pada bazar dan perhelatan kaum indie. Denny Sitohang, 29 tahun, adalah contoh gamblang penerapan prinsip do it yourself. Pemimpin Redaksi MTeens Magazine di Medan ini menguras tabungannya senilai Rp 5 juta untuk mewujudkan mimpi majalah indie. Ditemani seperangkat komputer pribadi, Denny menulis, menyun-nting, juga merancang tata letak MTeens. "Nekat aja," kata pemuda yang kupingnya berhias anting ini. Untunglah, kenekatan Denny berbuah. Kendati belum meraup untung, setidaknya ongkos operasional MTeens tidak lagi tambal sulam. Soal isi majalah, Denny lebih banyak mengandalkan jaringan di antara pelajar dan mahasiswa di Medan. "Saya sediakan medianya, silakan mereka manfaatkan," kata Denny. Hasilnya, MTeens menjadi media khas anak muda Medan. Denyut gerak orang-orang muda di kota ini terekam di dalam majalah yang dijual Rp 6.000 per buah dengan oplah 3.000 eksemplar ini. Walhasil, setiap bulan kehadiran MTeens pun selalu dinanti jejaka dan gadis Medan. MTeens, juga segenap majalah indie, memang punya karakter pasar yang mirip-mirip. Mereka membidik target pasar usia 15-20-an tahun yang cenderung memberontak, anak muda yang tak mau terkungkung aturan kaku, anak muda yang begitu ingin berenang-renang dalam lautan ide. Mereka kalangan yang tampaknya tidak ter- wakili oleh gaya konvensional yang di- tawarkan majalah remaja pada umumnya. Noor al-Kautsar menegaskan karakter komunitas indie. "Maaf saja," tuturnya, "Hai, Gadis, atau Kawanku enggak cocok buat kami-kami." Redaktur Ripple ini memandang media konvensional semata-mata mencekoki remaja dengan selera konsumtif yang dipaksakan industri hiburan global. Pada titik inilah majalah indie membawa misi menyajikan gagasan-gagasan alternatif. Tengoklah Outmagz edisi ke-2, yang menyuguhkan gambar-gambar aneh karya Jake & Dinos Chapman. Kedua perupa dari Inggris ini bereksperimen membuat boneka manusia berbahan fiber dengan anatomi yang superliar. Ada yang berkepala dua, ada yang perutnya berdempetan, yang lainnya punya selusin badan lantaran manipulasi genetis. "Karya ini bukanlah mengagungkan penyimpangan, tetapi se- kadar mengeksplorasi berbagai kemungkinan bentuk yang tiada habisnya," demikian ditulis Outmagz. Sajian visual yang diusung media indie pun pasti lain dan nyeleneh. "Sesuatu yang tidak bakal dijumpai pada media konvensional," kata Sigit Djatmiko, Redaktur Outmagz. Untuk gadis sampul, umpamanya, Outmagz lebih memilih gadis bertampang "tetangga sebelah" yang kita lihat sehari-hari. Sosok model, yang biasanya nyaris seragam—tinggi, kurus langsing, dan cantik sempurna—justru tak laku di sini. Dan jurus biasa-biasa inilah yang mendekatkan Outmagz dengan anak-anak muda pembacanya. Simaklah komentar Andri, pelajar SMU di Yogyakarta: "Gue suka banget sama Outmagz. Abis, isinya deket banget ama yang kita saksiin sehari-hari." Media independen tumbuh subur di berbagai kota. Kebebasan yang mereka suarakan cukup jitu memikat jiwa-jiwa muda
Kabar Panggung
Sheila on 7 Tampil di Prambanan
05 Dec 2009
SEBANYAK 20 grup band indie yang ada di Yogyakarta akan tampil di Prambanan 2009 Music Indie and Fans, di pelataran Candi Prambanan, 13 Desember mendatang.Beberapa band indie yang akan tampil adalah Long Distance, Lost, Dream Society, The Sign, Mr Je, Miles to Go , Savior, Sister Morphin, Resque, Urban Village, Monstone, Jagostu, dan Sheila on 7.
Puncak acara pesta band indie itu menampilkan grup Sheila on 7 yang dimotori Duta dan kawan-kawan.
Kepala Unit Taman Wisata Candi Prambanan Joko Sutono menjelaskan pesta band indie itu, selain untuk mempromosikan wisata, menunjukkan geliat band indie di Yogyakarta yang makin marak.
Joko optimistis penampilan Sheila on 7 bisa menyedot sekitar 15 ribu penonton sekaligus penggemar dari Yogyakarta dan Jawa Tengah. Pesta musik ini juga bagian dari agenda akhir tahun. (Ant/M-6)
Puncak acara pesta band indie itu menampilkan grup Sheila on 7 yang dimotori Duta dan kawan-kawan.
Kepala Unit Taman Wisata Candi Prambanan Joko Sutono menjelaskan pesta band indie itu, selain untuk mempromosikan wisata, menunjukkan geliat band indie di Yogyakarta yang makin marak.
Joko optimistis penampilan Sheila on 7 bisa menyedot sekitar 15 ribu penonton sekaligus penggemar dari Yogyakarta dan Jawa Tengah. Pesta musik ini juga bagian dari agenda akhir tahun. (Ant/M-6)
Indie, Kini Sudah jadi Industri
KapanLagi.com - Musik bisa dikatakan jadi ujung tombak berkembangnya komunitas indie. Sudah lama kita mendengar tentang band-band yang bergerak sendiri, untuk memproduksi dan mengedarkan album mereka, yang biasa disebut pergerakan underground. Angkanya memang tidak besar jika dibandingkan dengan ST 12 atau Padi. Tetapi, angka 50 ribu kopi untuk album indie sudah sangat bagus.
Makin lama, dukungan terhadap indie pun semakin besar. Terbukti dengan masuknya Mocca, The Changcuters, dalam deretan grup yang mendapatkan award dari MTV. Stasiun TV yang fokus pada musik itu pun, memberikan tempat yang cukup besar bagi musik yang bergerak dengan semangat indie. Tak ketinggalan, sejumlah radio ikut menyediakan segmen khusus bagi musisi-musisi lokal.
Bahkan kini sedang trend sebuah talent search berlabel festival indie, yang dilakukan beberapa produk rokok sebagai ajang kompetisi bisnis. Yang paling mutakhir adalah, seorang Ahmad Dhani yang rela berduet dengan band indie, demi mendongkrak penjualan albumnya.
Jika kita cermati, semangat indie yang sebenarnya sebuah budaya anti trend, kini telah disulap menjadi trend baru, sebuah konsekuensi logis dari perkembangan industri musik yang kian cepat secara kuantitas, tapi tidak secara kualitas. Berikut ini beberapa aspek yang disadari atau tidak telah bergeser dari semangat indie, menjadi trend yang diminati banyak orang.
Propaganda
Perkembangan hebat ini kemudian diikuti oleh elemen lain yang sangat menunjang. Salah satunya adalah media cetak. Untuk menunjang promosi, biasanya band membuat newsletter untuk memberitakan perkembangan bandnya. Berawal dari selembar kertas fotokopian, lalu mulai dicetak tipis, dan akhirnya bermunculanlah majalah-majalah yang tampilannya tak kalah keren dibandingkan dengan media cetak mapan.
Kota-kota penghasil media cetak indie adalah Bandung dengan Ripple-nya, Yogyakarta yang punyaOutmagz dan Medan dengan M-teens, misalnya. Belum lagi yang berupa newsletter dengan kemasan lebih rapi seperti 10.05 (ten o' five) yang dibagikan gratis.
Awalnya media cetak tersebut adalah ajang untuk propaganda. Tetapi, sekarang sudah berubah jadi bacaan yang bisa kita nikmati dan menambah wawasan kita.
Fashion
Indie tetap memperhatikan penampilan, tetapi dengan satu syarat: harus beda dengan yang lain. Syarat tersebut membuat mereka mendesain pakaian sendiri, biasanya berupa t-shirt, yang berbeda dengan rancangan orang lain. Walau sederhana, hanya mengandalkan kekuatan kata dan gambar pada kaus, ternyata desain mereka bisa memancing minat para pencinta fashion. Biasanya tiap desain dibuat dalam jumlah kecil. Paling banyak satu desain hanya diproduksi 10 potong. Perkembangan usaha ini makin menjamur. Puluhan merek bermunculan. Clothing tidak hanya memproduksi t-shirt, tetapi juga berbagai aksesori, seperti belt, handband, sepatu, sampai boxer.
Makin hari, persaingan semakin ketat. Dalam persaingan ini yang utama adalah ide. Semakin unik dan fresh, clothing tersebut bakal makin dicari.
Banyak produk bersemangat indie dihasilkan, tetapi sedikit tempat yang bisa menjualnya. Karena keterbatasan dana, mereka kesulitan masuk ke toko-toko buku besar. Akhirnya, dibangunlah sistem distribusi yang memanfaatkan jaringan pertemanan. Sampai akhirnya ada sebuah solusi untuk hal ini, yaitu 'distribution outlet' yang lebih dikenal dengan sebutan distro. Biasanya bermula dari menjual produk-produk mereka sendiri, kemudian berkembang banyak yang menitipkan barang untuk dijual di situ.
Makin lama, dukungan terhadap indie pun semakin besar. Terbukti dengan masuknya Mocca, The Changcuters, dalam deretan grup yang mendapatkan award dari MTV. Stasiun TV yang fokus pada musik itu pun, memberikan tempat yang cukup besar bagi musik yang bergerak dengan semangat indie. Tak ketinggalan, sejumlah radio ikut menyediakan segmen khusus bagi musisi-musisi lokal.
Bahkan kini sedang trend sebuah talent search berlabel festival indie, yang dilakukan beberapa produk rokok sebagai ajang kompetisi bisnis. Yang paling mutakhir adalah, seorang Ahmad Dhani yang rela berduet dengan band indie, demi mendongkrak penjualan albumnya.
Jika kita cermati, semangat indie yang sebenarnya sebuah budaya anti trend, kini telah disulap menjadi trend baru, sebuah konsekuensi logis dari perkembangan industri musik yang kian cepat secara kuantitas, tapi tidak secara kualitas. Berikut ini beberapa aspek yang disadari atau tidak telah bergeser dari semangat indie, menjadi trend yang diminati banyak orang.
Propaganda
Perkembangan hebat ini kemudian diikuti oleh elemen lain yang sangat menunjang. Salah satunya adalah media cetak. Untuk menunjang promosi, biasanya band membuat newsletter untuk memberitakan perkembangan bandnya. Berawal dari selembar kertas fotokopian, lalu mulai dicetak tipis, dan akhirnya bermunculanlah majalah-majalah yang tampilannya tak kalah keren dibandingkan dengan media cetak mapan.
Kota-kota penghasil media cetak indie adalah Bandung dengan Ripple-nya, Yogyakarta yang punyaOutmagz dan Medan dengan M-teens, misalnya. Belum lagi yang berupa newsletter dengan kemasan lebih rapi seperti 10.05 (ten o' five) yang dibagikan gratis.
Awalnya media cetak tersebut adalah ajang untuk propaganda. Tetapi, sekarang sudah berubah jadi bacaan yang bisa kita nikmati dan menambah wawasan kita.
Fashion
Indie tetap memperhatikan penampilan, tetapi dengan satu syarat: harus beda dengan yang lain. Syarat tersebut membuat mereka mendesain pakaian sendiri, biasanya berupa t-shirt, yang berbeda dengan rancangan orang lain. Walau sederhana, hanya mengandalkan kekuatan kata dan gambar pada kaus, ternyata desain mereka bisa memancing minat para pencinta fashion. Biasanya tiap desain dibuat dalam jumlah kecil. Paling banyak satu desain hanya diproduksi 10 potong. Perkembangan usaha ini makin menjamur. Puluhan merek bermunculan. Clothing tidak hanya memproduksi t-shirt, tetapi juga berbagai aksesori, seperti belt, handband, sepatu, sampai boxer.
Makin hari, persaingan semakin ketat. Dalam persaingan ini yang utama adalah ide. Semakin unik dan fresh, clothing tersebut bakal makin dicari.
Banyak produk bersemangat indie dihasilkan, tetapi sedikit tempat yang bisa menjualnya. Karena keterbatasan dana, mereka kesulitan masuk ke toko-toko buku besar. Akhirnya, dibangunlah sistem distribusi yang memanfaatkan jaringan pertemanan. Sampai akhirnya ada sebuah solusi untuk hal ini, yaitu 'distribution outlet' yang lebih dikenal dengan sebutan distro. Biasanya bermula dari menjual produk-produk mereka sendiri, kemudian berkembang banyak yang menitipkan barang untuk dijual di situ.
Ajang Kompilasi Musik Indie
Musik indie, yang mengutamakan kebebasan berekspresi dari jenis-jenis musik yang mainstream atau cenderung menjadi trend berkat kekuatan industri memang beragam. Tidak semua beraliran keras. Ragamnya musik indie disuguhkan oleh 12 finalis "LA Lights Indiefest" yang karya musiknya telah tergabung dalam album kompilasi yang beredar mulai pekan depan. Secar langsung, keragaman musik indie itu terlihat dalam showcase yang diselenggarakan di Cihampelas Walk pada Sabtu (10/20) sore dan malamnya di Gedung Asia Africa Cultural Center, Jl. Braga Bandung.
Vincent Vega membuka penampilan LA Lights Indiefest di AACC tepat pukul 20.15 WIB dengan lagu Shane. Penampilan Vincent Vega itu dilanjutkan dengan penampilan band indie papan atas yang sebelumnya sudah membuat album, yaitu Mocca.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan penampilan DRinos. Band indie asal Bekasi ini menyuguhkan musik degan irama khas tahun 70an. Mereka membawakan lagu diantaranya "Beri Waktu Seminggu". Lalu tampil Pollyester Embassy yang mengusung aliran musik hardcore. Tampil dengan musik yang banyak di warnai distorsi dan sound effect, Pollyester Embassy membawakan tiga buah lagu dari album mereka yang telah dilepas pada november 2005 lalu, "Tragicomedy."
Selanjutnya muncul Hollywood Nobody. Dengan musik gaya bossanova, mereka menampilkan lagu yang sudah dibuat video klipnya, "Kiss The Pain Away". Hollywood nobody merupakan satu-satunya band yang lagunya dibuatkan video klip pada ajang "LA Lights Indiefest" ini.
Acara yang cukup memperoleh sambutan penonton ini akhirnya ditutup dengan penampilan dari grup The SIGIT. Mereka menampilkan beberapa lagu dari album terakhir mereka "Visible Idea of Perfection". Secara keseluruhan, penampilan band-band indie mampu menyulut antusiasme penonton denga karya-karya mereka, terutama band-band indie papan atas. Namun sayangya, acara yang ditonton sekitar 400 penonton ini sedikit terganggu oleh kualitas sound yang menyebabkan sedikit gangguan teknis di atas panggung. Selain 400 orang yang menonton di dalam gedung AACC, acara ini juga ditonton melalui fasilitas big screen. sekitar 300 penonton cukup terhibur di luar gedung AACC.
Sementara itu pada show di Ciwalk sore harinya telah tamil Lovely Tea, Airport Radio, dan band lain yang ada di album kompilasi LA Lights Indiefest. Kedua belas band ini telah terpilih dari 1400an band yang diaudisi sejak Maret 2006 di Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya. audisi dari Bandung telah meloloskan enam Band yang karyanya masuk dalam album, yaitu C Cord, D Rinos, Pegawai Negeri, 70s Orgasm Club, Vincent Vega, dan Hollywood Nobody yang karyanya bertajuk "Kiss The Pain Away" telah dibuatkan videoklipnya.
Menurut Helvi Sjarifuddin, pemilik FastForward Records yang menangani sejak seleksi awal sampai pembuatan albumnya, masih ada video klip yang dibuat. Namun ia belum bisa menyebutkan band apa saja yang akan diproduksi videoklipnya.
Musisi Kreatif
Kesamaan nasib yang menyatukan trio ndeso Dobleh (Juan Rangga SKJ), Tama (Tama SKJ), dan Bagus (Bagus SKJ) jadi satu gank. Mereka juga sama-sama punya obsesi sebagai musisi, ‘hidup’ benar-benar untuk musik. Mereka pun mengidolai band rock ternama di kampus mereka, band BANGER pimpinan Langit (Fandi Christian).
GANK BANGER bener-bener jadi sosok lelaki-lelaki harapan, elite, punya pacar dan selalu dikelilingi anggota gank Blink-blink yaitu Gadis (Cinta Laura Kiehl), Geschell (Nindy), Gendis (Karmela) yang terkenal cantik, populer, tenar, super metal! Sulit bagi Dobleh cs. untuk menyamai kedudukan gank Banger yang super tampan dan tajir itu. Maksud hati mengidolakan gank Banger dan bermimpi memiliki pacar anggota gank Blink-blink, trio ndeso malah membuka gerbang permusuhan dengan gank Banger.
Melihat usaha trio ndeso mendekati Blink-blink, Langit menantang Bagus untuk ikut kompetisi PESTA KABEL di Kampus mereka. Trio ndeso pun merasa inilah jalan mereka untuk membuktikan eksistensinya. Mereka menamai band mereka dengan sebutan SKJ. Mereka penuh percaya diri, giat berlatih di studio Mar-‘DJ’-Uki, milik mas MarDJuki (Andi/Riff) Sialnya, mereka tidak punya cukup uang buat membayar sewa studio. Akhirnya Mas Uki menghukum mereka untuk menjadi ‘tukang bersih-bersih’ studio sekaligus asistennya di kelas DJ. Sialnya lagi, gank Banger yang memang member tetap studio Mar-‘DJ’-Uki, Ternyata diam-diam, mas Uki sering mengintip SKJ latihan, dan justru merasa senang dengan keseriusan SKJ berlatih musik. Mas Uki memberi formulir gratis agar SKJ mengikuti festival musik indie, termasuk bekal tiketnya ke Jakarta.
Apakah SKJ akan meraih mimpinya, mengubah nasib dengan musik, dari Sampah Kota Jogja menjadi Seleb Kota Jogja?
Jenis Film : Comedy
Produser : Chand Parwez Servia
Produksi : Pt. Kharisma Starvision Plus
Pemain : Bagus ‘skj’
Tama ‘skj’
Juan Rangga ‘skj’
Cinta Laura Kiehl
Nindy
Karmela
Andy /rif
Jaja Miharja
Butet Kartaredjasa
Sutradara : Lakonde
Penulis : Tamidia
Sumber :
http://21cineplex.com/
kabar indie jogja
Frau, Pianis indie berbakat asal jogja
Bagi kebanyakan musisi, bergabung dengan perusahaan rekaman besar umumnya menjadi pilihan jalan terbaik untuk mencapai puncak prestasi. Melalui major label, kemudahan meraih ketenaran yang berujung pada datangnya kemudahan finansial, menjadi pandangan mainstream. Meskipun kemudian, ada sejumlah kompromi yang harus dijalankan. Namun bagaimana dengan pemikiran para musisi indie? Dari Jogja, seorang gadis belia mulai menggebrak panggung musik indie nasional lewat harmoni kord-kord piano elektriknya. Frau, pianis solo berdarah campuran Jogja- Jepang Hawaii telah membuat kagum banyak penikmat musik bawah tanah.Lewat sejumlah performa gabungan piano dengan teater atau seni pantomim, Frau dipuji banyak pengamat musik indie sebagai new rising star di musik indie. Frau sendiri juga tidak segan-segan menyebarluaskan karya musiknya secara gratis melalui internet. Baginya, bermusik adalah media penyaluran hobi sekaligus wujud aktualisasi diri, yang tak bisa dibatasi oleh tuntutan-tuntutan atas nama bisnis komersil
Langganan:
Postingan (Atom)