KapanLagi.com - Musik bisa dikatakan jadi ujung tombak berkembangnya komunitas indie. Sudah lama kita mendengar tentang band-band yang bergerak sendiri, untuk memproduksi dan mengedarkan album mereka, yang biasa disebut pergerakan underground. Angkanya memang tidak besar jika dibandingkan dengan ST 12 atau Padi. Tetapi, angka 50 ribu kopi untuk album indie sudah sangat bagus.
Makin lama, dukungan terhadap indie pun semakin besar. Terbukti dengan masuknya Mocca, The Changcuters, dalam deretan grup yang mendapatkan award dari MTV. Stasiun TV yang fokus pada musik itu pun, memberikan tempat yang cukup besar bagi musik yang bergerak dengan semangat indie. Tak ketinggalan, sejumlah radio ikut menyediakan segmen khusus bagi musisi-musisi lokal.
Bahkan kini sedang trend sebuah talent search berlabel festival indie, yang dilakukan beberapa produk rokok sebagai ajang kompetisi bisnis. Yang paling mutakhir adalah, seorang Ahmad Dhani yang rela berduet dengan band indie, demi mendongkrak penjualan albumnya.
Jika kita cermati, semangat indie yang sebenarnya sebuah budaya anti trend, kini telah disulap menjadi trend baru, sebuah konsekuensi logis dari perkembangan industri musik yang kian cepat secara kuantitas, tapi tidak secara kualitas. Berikut ini beberapa aspek yang disadari atau tidak telah bergeser dari semangat indie, menjadi trend yang diminati banyak orang.
Propaganda
Perkembangan hebat ini kemudian diikuti oleh elemen lain yang sangat menunjang. Salah satunya adalah media cetak. Untuk menunjang promosi, biasanya band membuat newsletter untuk memberitakan perkembangan bandnya. Berawal dari selembar kertas fotokopian, lalu mulai dicetak tipis, dan akhirnya bermunculanlah majalah-majalah yang tampilannya tak kalah keren dibandingkan dengan media cetak mapan.
Kota-kota penghasil media cetak indie adalah Bandung dengan Ripple-nya, Yogyakarta yang punyaOutmagz dan Medan dengan M-teens, misalnya. Belum lagi yang berupa newsletter dengan kemasan lebih rapi seperti 10.05 (ten o' five) yang dibagikan gratis.
Awalnya media cetak tersebut adalah ajang untuk propaganda. Tetapi, sekarang sudah berubah jadi bacaan yang bisa kita nikmati dan menambah wawasan kita.
Fashion
Indie tetap memperhatikan penampilan, tetapi dengan satu syarat: harus beda dengan yang lain. Syarat tersebut membuat mereka mendesain pakaian sendiri, biasanya berupa t-shirt, yang berbeda dengan rancangan orang lain. Walau sederhana, hanya mengandalkan kekuatan kata dan gambar pada kaus, ternyata desain mereka bisa memancing minat para pencinta fashion. Biasanya tiap desain dibuat dalam jumlah kecil. Paling banyak satu desain hanya diproduksi 10 potong. Perkembangan usaha ini makin menjamur. Puluhan merek bermunculan. Clothing tidak hanya memproduksi t-shirt, tetapi juga berbagai aksesori, seperti belt, handband, sepatu, sampai boxer.
Makin hari, persaingan semakin ketat. Dalam persaingan ini yang utama adalah ide. Semakin unik dan fresh, clothing tersebut bakal makin dicari.
Banyak produk bersemangat indie dihasilkan, tetapi sedikit tempat yang bisa menjualnya. Karena keterbatasan dana, mereka kesulitan masuk ke toko-toko buku besar. Akhirnya, dibangunlah sistem distribusi yang memanfaatkan jaringan pertemanan. Sampai akhirnya ada sebuah solusi untuk hal ini, yaitu 'distribution outlet' yang lebih dikenal dengan sebutan distro. Biasanya bermula dari menjual produk-produk mereka sendiri, kemudian berkembang banyak yang menitipkan barang untuk dijual di situ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar