Selasa, 20 April 2010

Yogya Sound: Gelar Baru buat Yogya!

Sekarang Yogya punya sebutan baru baru selain "kota gudeg" dan "kota pelajar". Anak-anak muda Yogya menggeliat dalam penciptaan sebuah genre baru dalam musik lokal. It’s Yogya sound!
Menyebut nama kota ini pastinya akan mengingatkan kita kepada beberapa hal yang istimewa. Kota yang masih terasa sebagai sebuah kerajaan karena keberadaan Sultannya. Kota yang lebih kita kenal dengan makanan khasnya bernama gudeg. Kota yang menawarkan sebuah jalanan eksotis bernama Malioboro. Atau kota yang dipenuhi oleh anak-anak muda dari berbagai daerah di Indonesia untuk menuntut ilmu di sana.
Tapi, ada sebuah kekhasan lain yang belum banyak disebut bila kita membicarakan kota ini. Yogya adalah kota musik. Yup, karena kehidupan bermusik di kota ini tidak bisa dibilang mati. Kalau kita datang ke kota ini dengan kereta api, kita pun bakal langsung disambut dengan musik. Tidak percaya? Cek, nih!
Di pelataran parkir Stasiun Tugu yang cuma beberapa langkah dari Malioboro itu, ada sebuah warung soto bernama Soto Sulung. Di situ sempat dikenal sebuah kelompok musik yang mengkhususkan diri menghibur pengunjung warung soto itu. Bermodal bas betot, kendang ukulele, dan beberapa alat gesek, kelompok ini menawarkan lagu-lagu mereka. Dari lagu tradisional sampai lagu lagu berbahasa Inggris.
Lalu beberapa langkah dari warung tersebut, sebelum menginjak Malioboro, ada Borobudur Bar. Sebuah tempat yang lebih banyak dikunjungi turis-turis asing ini menawarkan suguhan live musik. Biasa berkumandang musik musik rock and roll, reggae, atau musik country. Serasa di bar para cowboy.
Malam hari di Malioboro, akan banyak berseliweran para penyanyi jalanan yang modalnya bervariasi. Dari sekadar gitar, sampai yang modal bikin perkusi sederhana sebagai pengganti drum. Tapi, semua itu belum jadi modal apa-apa untuk membuat kota ini mendapat predikat kota musik. Orang bakal lebih mengenal Bandung dan Surabaya yang sudah melahirkan banyak musisi yang berhasil di industri musik lokal.
Dibanding Bandung
Bandung memang lebih dulu memulai invasi mereka di dunia musik lokal. Saat Bandung menawarkan Kahitna, Java Jive, Pure Saturday, Pas Band, /rif, dan sederet nama lain di angkatan itu, Yogya baru menawarkan Djaduk Ferianto dan Butet Kertaredjasa yang nuansa musiknya lebih kontemporer, tapi jauh dari selera pasar pop (baca: industri musik).
Memang sih, sempat juga muncul nama Rolland Band dan Tiga Band yang meramaikan musik nasional di tahun ’80-an. Tapi sayang, semua itu masih belum cukup untuk menyaingi Bandung. Generasi terbaru Bandung pun masih tetap produktif. Sebutlah Cokelat dan Peterpan. Belum lagi mereka yang berhasil dengan jalur indie seperti Koil dan Mocca.
Ya, musisi-musisi dengan karakter dan jenis musik yang sangat variatif ini menjadi kelebihan Bandung. Selain itu, didukung kondisi geografis yang dekat dengan Jakarta. Membuat mereka lebih mudah masuk ke jaringan industri.
Tapi, sejak tahun ’90-an, Yogya sudah berani berbangga. Nama Sheila On 7 mencatat sejarah fenomenal. Mereka grup pertama yang catatan penjualan tiga album pertamanya masing-masing melewati angka satu juta keping album. Sebuah prestasi yang kemudian membangkitkan gairah industri musik nasional. Dan tentunya gairah musik di Yogya.
Berikutnya muncul nama Jikustik, sebuah band yang awalnya hanya berniat main di kafé-kafé. Walaupun prestasi mereka tidak se-spektakuler Sheila On 7, tapi meninggalkan jejak yang dalam di dunia musik. Malah bisa melahirkan sosok Pongki, sang vokalis, yang ternyata bisa melesat sendiri sebagai salah satu pencipta lagu yang produktif mencetak hits.
Dua nama band ini bisa memancing kita untuk menengok Yogya. Ternyata ada geliat yang hebat di kota ini. Ada semangat menawarkan konsep musik yang lebih industry oriented. Easy listening jadi modal utama mereka.
Sumbangan perantau
Bicara soal variasi musik, Yogya sebenarnya enggak jauh tertinggal dari Bandung. Perlu diingat juga, para pelajar perantau dari berbagai daerah ini juga menyumbangkan influence mereka. Eits! bukan cuma daerah, tapi juga banyak yang kulitnya lebih terang, rambut blonde, dan mata hijau. Tentunya para "bule", secara langsung atau tidak, membuat nuansa musik Yogya jadi lebih kaya. Seberapa besar sumbangan para londo ini?
Esnanas awalnya didirikan oleh sekelompok anak muda yang sebagian besar siswa University of California. Mereka menawarkan punk dengan bermodal lagu-lagu Rancid, Helmet, hingga funk psychedhelic ala Red Hot Chilli Peppers.
Setelah itu, banyak pula band-band yang membawa style bahkan genre baru dari Barat ke Yogya. Uniknya, mereka ini bermunculan dengan memiliki karakter khas masing-masing. Misalnya saat Koil (band asal Bandung) naik daun dengan musik Industrial-nya, Yogya pun punya beberapa band yang memainkan musik sejenis di akhir tahun 90-an. Ada nama SKM, yang hanya berpesonel seorang vokalis dan gitaris, dibantu seperangkat komputer saat mereka manggung. Lalu muncul nama Teknoshit, yang sekarang malah jadi idolanya komunitas penggemar musik elektronik.
Kalau Bandung punya Pas Band dan /rif untuk rock alternatif, Yogya punya I Hate Mondayz yang menjadi bagian dari generasi awal band-band indie yang muncul di G-indie (nama program pemutaran lagu indie di radio lokal Yogya bernama Geronimo). Saat musik ska booming, Yogya punya ShaggyDog yang bertahan hingga sekarang. Sayangnya, album band-band ini belum bisa menembus pasar nasional. Peredarannya masih sangat terbatas.
Nah, itulah yang sekarang membuat cah-cah Yogya ini berlomba untuk menembus industri musik nasional. Dan akhirnya, sekarang munculah nama-nama baru pencetak hits. Macam Seventeen, yang sukses meloloskan hitsnya Cobalah. Konsep musik yang mereka sebut pop bandel ini, enggak jauh dengan dua pendahulunya: Easy listening.
Atmosfir segar
Sebelum kemunculan Seventeen, ada juga beberapa band Yogya yang muncul walaupun sepintas. Sony Music yang sukses dengan Sheila On 7, kelihatannya paling rajin menengok Yogya. Beberapa band muncul dalam album-album kompilasi yang mereka rilis. Sebutlah Colonyet di Skamania, ‘esnanas dan Shakey di Indie Ten II’. I Hate Mondayz dalam kompilasi Alternative Plus.
Setelah itu pergerakan yang terjadi pun makin hebat. Pergerakan ini didukung pula oleh perkembangan aspek-aspek penunjang. Studio-studio musik bukan lagi sekadar menawarkan tempat latihan. Tapi, sebagian besar mulai melengkapi diri dengan fasilitas untuk merekam sampai mixing karya-karya mereka.
Awalnya program radio G-Indie hanya mau menerima demo hasil rekaman Blass Studio. Karena, memang hanya studio milik Mas Fellix ini yang bisa menghasilkan rekaman dengan kualitas baik. Sekarang sangat banyak pilihan tempat untuk merekam lagu mereka. Hasilnya, ajang pemutaran lagu karya sendiri di radio Geronimo ini pun kebanjiran demo yang minta untuk diputar.
Muncul pula minor label yang tentunya sangat berguna bagi musisi Yogya. Awal kemunculan Jikustik di kancah nasional pun bermula dari kerja sama mereka dengan minor label bernama Woodles, yang bekerja sama dengan Warner Music. Gaya "perjuangan" jalur indie label pun terus berlanjut. Misalnya, dibantu oleh sebuah outlet penjual kaset dan CD. Seperti toko kaset Popeye yang berada di balik kemegahan Malioboro Mal, berhasil membuat dua album indie label ShaggyDog laris.
Nah, belakangan mulai bermunculan distro yang men-support penjualan kaset dan merchandise indie. Beberapa Clothing Company pun siap mendukung penampilan cah-cah band Yogya. Sementara untuk urusan berita dan tulisan tentang band-band indie, kita bisa baca majalah lokal bernama Blank.
Well, atmosfir ini jelas sangat mendukung perkembangan musik di kota gudeg.
Komunitas yang hidup
Kalau kita berjuang sendirian, mungkin bakal terasa berat. Tapi, kalau kita berkumpul bersama teman-teman dalam sebuah komunitas dan melakukan "perjuangan" bersama, itu lain soal. "Perjuangan" akan terasa lebih menyenangkan. Kita bisa berdiskusi, saling memberi masukan atau malah saling bantu kalau butuh pemain musik.
Sekarang ini mungkin komunitas Alamanda yang kita kenal. Tempat yang awalnya cuma studio latihan ini, memang jadi tempat nongkrong cah-cah band Yogya. Dari latihan, les musik, "ngotak-atik" lagu, diskusi soal program kerja, sampai hanya ngegosip sambil menikmati pisang bakar pun jadi.
Sebenarnya, Alamanda bukan komunitas musik pertama yang ada di Yogyakarta. Ada beberapa komunitas yang hadir duluan. Seperti Malioboro Classical, lalu Yogyakarta Corps Grinder, dan Realino. Tapi mereka lebih menkhususkan pada musik tertentu yang bisa kita lihat dari namanya.
Adapun Alamanda lebih kompleks dengan berbagai aliran. Belakangan juga disinyalir banyak komunitas musik yang berkumpul di studio-studio musik lain. Fakultas Filsafat UGM juga punya komunitas Sande Morning yang suka bikin acara setiap minggu pagi. Membuat suasana kompleks UGM makin meriah, selain lesehan lontong sayur dan orang-orang yang berolahraga pagi.
Dari situ memang banyak info dan ilmu yang menyebar untuk meningkatkan kualitas bermusik. Soal kemampuan, Yogya punya potensi yang bagus. Untuk yang ingin belajar musik secara formal, tentunya kita bisa melihat Institut Seni Indonesia (ISI). Dari sini biasanya muncul band band dengan ide dan konsep yang kontroversial dan membuka lahan baru. Bahkan, untuk yang seangkatan SMU, Yogya punya Sekolah Menengah Musik (SMM). Karena itu, bukan tidak mungkin anak-anak remaja mampu menghasilkan musik yang berkualitas.
Bergaul dong!
Kebangkitan para musisi Yogya ini juga didukung oleh kemauan mereka untuk membuka wawasan dan "bergaul" dengan daerah lain. Dalam hal ini Bandung dan Jakarta lebih diincar. Bandung karena masih rules, dan Jakarta yang jadi pusatnya industri musik.
Langkah ini diambil misalnya oleh ShaggyDog saat menggarap album kedua. Mereka memilih merekam lagu mereka di Reverse, studionya Richard Mutter. Termasuk rela ngamen di jalan Dago untuk membiayai hidup mereka selama itu. Tujuannya bukan cuma mencari hasil rekaman yang lebih bagus, tapi juga mengakrabkan diri dengan komunitas Bandung. Beberapa orang mencoba bergabung dengan Potlot, dan menyebarkan virusnya di Yogya. Dan tak sedikit yang mencoba jalan Sheila On 7, dengan mendatangi recording company satu per satu di Jakarta.
Mereka yang sudah suksespun membantu jalan keluar band-band Yogya lain. Endank Soekamti, band punk yang awalnya berniat merilis album indie ditawari Pongki Jikustik untuk bekerja sama. Akhirnya, Endank Soekamti memproduksi albumnya bersama Proton Record yang didirikan Pongki dan temannya yang bernama Tony. Proton kemudian menggaet Primagama Music (divisi musik lembaga pendidikan Primagama) dan Warner Music sebagai partner. Seperti karang yang akhirnya terkikis juga oleh ombak. Akhirnya, tembok industri musik nasional berhasil mereka tembus.
Mungkin suatu kebetulan, mungkin pula karena perusahaan rekaman mulai melihat Yogya sebagai produsen band yang potensial. Siapa sih yang enggak mau ketularan sukses Sony Music dengan Sheila On 7? Tapi, tentunya bukan cuma unsur daerah yang bakal membawa keberuntungan. Kualitas musik mereka juga dipertaruhkan. Maka, para perusahaan rekaman itu pun memilih jagoannya masing-masing.
Sekarang ini baru Seventeen yang menyusul Sheila On 7 dan Jikustik dalam menambah daftar band Yogya yang sudah merilis album. Tapi, gelombang besar sudah siap menyerbu di bulan September ini. ShaggyDog yang setiap pertunjukannya selalu dipenuhi penonton, siap menggebrak dengan dukungan EMI. Endank Soekamti siap membuat suasana lebih panas dengan musik punk bersama Proton dan Warner Music.
New Days akan memperkuat barisan artis produksi Bulletin. The Rain diproyeksikan menggantikan Naff sebagai ujung tombak Pro Sound Record. Dan Esnanas yang menunggu giliran rilis dari BMG. Akan hadir juga Mondayz yang merupakan jelmaan dari I Hate Mondayz yang akan merilis album mereka bersama minor label lokal Mix Pro. Belum lagi kiprah Hai Music Record yang siap-siap dengan produknya, Stereovilla.
Mungkin sekarang sudah saatnya Yogya mendapat julukan baru sebagai "kota musik" karena gelombang serbuan musisi Yogya ini dipastikan akan makin membesar. Kalau yang sekarang lebih didominasi komunitas Alamanda, bukan berarti komunitas lain siap-siap, pun sedang berbenah untuk menyusul. Mereka akan memberi warna baru musik Indonesia dengan Yogya Sound-nya!
Atau ada yang punya nama lebih pas buat Yogya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar